Kejati NTB Pasang Syarat: Perlindungan LPSK Anggota DPRD Tergantung Peran Ungkap Dana “Siluman”
Mataram (NTBSatu) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, merespons langkah sejumlah anggota DPRD NTB yang disinyalir menerima aliran dana “siluman” mengadu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Itu hak (para anggota dewan). Itu domainnya LPSK,” ucap Kepala Kejati NTB, Wahyudi pada Selasa, 9 Desember 2025.
Kejaksaan tidak serta merta langsung menerima pengajuan tersebut. Wahyudi menyebut, pihaknya harus mempelajari dan menganalisis permohonan itu dari aspek penanganan perkara.
Jika dengan mendapatkan perlindungan LPSK, belasan legislator itu bisa memudahkan penyidik memperluas dan membuktikan penangan perkara, kejaksaan akan bersedia mengakomodirnya.
“Selama membantu penyidikan atau pembuktian, ya kita akomodir. Kalau tidak bisa membantu, ya, kita pertimbangkan,” tegasnya.
LPSK Terima Aduan
Sebelumnya, LPSK menerima permohonan perlindungan dari sejumlah anggota DPRD NTB. Prosesnya dalam tahap telaah. Permintaan perlindungan itu berkaitan dengan kasus dana “siluman” atau gratifikasi DPRD NTB.
“Total ada sebanyak 15 anggota DPRD NTB memohonkan. Permohonannya masuk tanggal 24 November lalu,” kata Tenaga Ahli LPSK, Tomi Permana pada Selasa, 2 Desember 2025.
Bentuk permohonan ke LPSK berupa Pemenuhan Hak Prosedural (PHP). Meliputi pendampingan, penerjemah, informasi perkembangan kasus, dan nasihat hukum. Alasan belasan anggota dewan meminta PHP karena saat ini status mereka masih menjadi saksi.
Untuk menjadi pemohon ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi. Hal itu sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Syarat itu terlihat dari tingkat ancaman, rekam jejak si pemohon, dan asesmen psikologis.
Dari telaah sementara LPSK, tidak menutup kemungkinan 15 anggota DPRD NTB tersebut bisa mendapatkan perlindungan hukum.
Untuk menelaah itu, sambung Toni, butuh komunikasi dengan penyidik Kejati NTB. “Apakah semuanya murni menjadi saksi atau ada yang akan diperiksa sebagai tersangka,” katanya.
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan tiga anggota dewan sebagai tersangka. Mereka adalah Indra Jaya Usman (IJU) dari Partai Demokrat, M Nashib Ikroman alias Acip dari partai Perindo, dan Hamdan Kasim dari Partai Golkar.
“Kita tidak tahu ke depan kemungkinan akan bertambah tersangkanya. Apakah di antara 15 orang yang memohonkan itu ada yang menjadi tersangka,” bebernya.
Untuk mendalami peran tersebut tidak saja akan melibatkan jaksa. Melainkan juga mempertanyakan ke sejumlah pihak lain. Seperti NGO, LSM, atau wartawan.
Dari berbagai diskusi tersebut, LPSK nantinya akan menyimpulkan apakah mereka layak mendapatkan perlindungan semuanya atau tidak.
“Nanti dilihat dari peran aktif dan pasif menerima uang tersebut. Kita lihat kedudukannya,” ucapnya. (*)



