Oknum ASN Pemkab Lombok Barat Ditahan Jaksa Kasus Pokir DPRD
Mataram (NTBSatu) – Penyidik Pidsus Kejari Mataram akhirnya menahan Oknum ASN Pemkab Lombok Barat inisial MZ, tersangka dugaan korupsi dan Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD Lombok Barat tahun 2024.
“Hari ini kami tim Pidsus kembali menahan tersangka korupsi belanja barang untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat pada Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat tahun 2024,” terang Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhyana pada Selasa, 2 Desember 2025.
Penyidik menahan tersangka yang berperan sebagai PPK dan KPA ini di Lapas Kelas IIA Kuripan Lombok Barat, selama 20 hari mendatang.
Penyidik menyangkakan, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus ini, penyidik Pidsus Kejari Mataram menetapkan empat orang sebagai tersangka pada Jumat, 14 November 2025.
Mereka adalah Anggota DPRD Lombok Barat inisial AZ. Kemudian, dua ASN Pemda Lombok Barat Hj. DD dan H. MZ. Terakhir pihak swasta inisial R.
Penyidik menahan tersangka H. AZ dan R di Lapas Kelas Kuripan Lombok Barat. “Sementara Hj. DD masih kami periksa,” ucap Made Pasek.
Sebagai informasi, kasus ini mulai ketika Dinas Sosial Lombok Barat menganggarkan kegiatan belanja barang untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat pada tahun 2024. Nilainya Rp22,2 miliar.
Belanja itu terbagi menjadi 143 kegiatan. 100 di antaranya merupakan Pokir anggota DPRD Lombok Barat.
Sebanyak 10 paket khusus untuk tersangka AZ senilai Rp2 miliar. Ia menempatkannya di Bidang Pemberdayaan Sosial sebanyak 8 paket dan Bidang Rehabilitasi Sosial sebanyak 2 paket.
Peran Keempat Tersangka
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) AZ adalah melakukan intervensi terhadap proses pengadaan barang untuk diserahkan kepada masyarakat. Padahal itu merupakan bagian dari pejabat pengadaan maupun PPK/KPA.
“Melakukan pembelanjaan sendiri terhadap kegiatan pemerintah daerah. Sehingga mengaburkan peran penyedia barang/jasa dan melanggar asas pengadaan,” bebernya.
Kemudian, mengatur dan menunjuk sendiri penyedia (tersangka R) untuk menjadi pemenang. Lalu, memerintahkan pembuatan proposal fiktif dan mark up jumlah penerima manfaat.
“Melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan melibatkan diri dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah. Seharusnya bersifat eksekutif, bukan legislatif,” bebernya.
Sementara peran R, bersedia ditunjuk secara langsung tanpa proses pengadaan yang sah (pengaturan pemenang). Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak, membiarkan pihak lain (AZ) melaksanakan pekerjaan sepenuhnya.
Hanya bertindak sebagai “bendera” atau penyedia fiktif dan tetap menerima keuntungan 5 persen. “Sehingga terjadi moral hazard dan perbuatan memperkaya diri sendiri tanpa dasar hukum,” ucapnya.
Sementara tersangka Hj. DD dan H. MZ, tidak melakukan survei harga dalam menyusun HPS, hanya berdasarkan ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga (SSH) Kabupaten Lombok Barat 2023.
Akibatnya, harga yang PPK/KPA tetapkan dalam kontrak jauh lebih mahal dari harga pasar. Sehingga mengakibatkan terjadinya kemahalan harga.
“Melakukan pengaturan pemenang bersama Tersangka H. AZ, dengan menunjuk langsung penyedia tertentu (tersangka R),” tegasnya.
Lalu, tidak melakukan pengendalian kontrak dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. Pekerjaan pun tidak sesuai dengan SPK atau kontrak.
“Menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan,” katanya.
Akibat perbuatan tersangka, muncul kerugian negara senilai Rp1,7 miliar. Angka itu berdasarkan
laporan hasil audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dari Inspektorat Kabupaten Lombok Barat. (*)



