HEADLINE NEWSLiputan Khusus

LIPSUS – Begadang demi Dagangan, Kisah Anak di Gemerlap Mandalika

Gemerlap dan pesatnya pertumbuhan industri pariwisata Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah, ada situasi sosial yang mengarah ke pekerja anak. Usia yang seharusnya fokus menempuh pendidikan, belum saatnya bekerja, tapi dipaksa keadaan. Saat jam tidur, mereka begadang bersama pengunjung hiburan malam.  

——————— 

Malam turun perlahan di kawasan Mandalika, Desa Kuta, Lombok Tengah. Lampu-lampu hotel bintang lima berpendar di sepanjang garis pantai, memantul di kaca restoran mewah dan mobil-mobil wisatawan yang melintas. 

Musik dari bar terdengar samar, bersaing dengan debur ombak yang kini tak lagi sendu.

Namun di sela riuh itu, ada suara lain. Pelan tapi getir, suara anak-anak kecil yang menawarkan gelang di bawah sinar lampu temaram.

“Gelangnya, Mister? Sepuluh ribu saja…”

Suara mereka nyaris tenggelam oleh dentum musik malam.

Ketika tim NTBSatu menghampiri mereka pada penelusuran Agustus lalu, sekelompok anak itu langsung berbondong-bondong mendekat, berebut menawarkan dagangannya. 

Mereka tersenyum malu-malu, tapi matanya waspada, seolah mengukur siapa yang paling mungkin membeli.

Mereka masih kecil. Sebagian mengaku duduk di kelas 5 dan 6 SD. Beberapa lainnya baru menginjak bangku SMP.

Tubuh mereka kering dan ringkih, baju yang dipakai lusuh, sebagian tanpa alas kaki. Saat ditanya soal sekolah, mereka menunduk. Ada yang menjawab pendek, ada yang hanya menggeleng pelan.

“Sekolah… kadang,” ucap seorang anak lelaki berumur sekitar 12 tahun, menatap gelang di tangannya. “Kalau lagi ramai turis, kadang nggak sempat sekolah,” tukasnya.

Anak-anak itu bergerak cepat setiap kali wisatawan datang. Mereka tahu waktu terbaik untuk berjualan: sore menjelang malam, saat bar mulai ramai dan lampu-lampu menyalakan suasana.

Setiap kali rombongan turis melintas, mereka berebut mendekat, berlomba-lomba memamerkan gelang dan kalung yang mereka anyam dari kerang laut.

“Biar dibeli duluan,” kata seorang anak laki-laki yang mengaku berasal dari Desa luar Penyangga Kuta.

Dua bocah saat membujuk wisatawan asing membeli dagangannya. Foto: Sita Saraswati

Ia bercerita, bisa mendapat Rp50 ribu hingga Rp100 ribu semalam. Uang yang langsung diberikan kepada orang tuanya. Kadang ada wisatawan yang berbaik hati untuk memberikan uang lebih.

Malam hari, seharusnya jadi jam tidur bagi anak anak. Karena keesokan harinya menyambut pagi menuju sekolah. Atau mempersiapkan waktu bermain jika masuk hari libur. 

Tapi anak anak di Kuta, justru ikut larut dalam gemerlap malam. Salah seorang pengunjung mengaku, tak pernah absen melihat pedagang usia anak di club malam. “Malam Minggu, atau hari hari biasa, tetap ramai. Saya juga heran. Mereka semakin ramai dan bertambah,” kata seorang pelanggan club malam R kepada NTBSatu, Senin 10 November 2025.  

Sumber mengaku,  menjadi pelanggan club malam seperti R, S dan A. Tempat hiburan yang setiap malam ramai. Pada weekend, tempat ini dijubeli pengunjung, kebanyakan wisatawan asing. “Nah anak anak ini nyelip di antara turis yang sedang dance di lantai floor,” kata sumber. 

Respons pengunjung beragam. Ada yang acuh dan memberi gesture menolak saat ditawari beli gelang. Bule lainnya hanya tersenyum, kadang mengajaknya berbincang. Tapi tidak sedikit yang risih dan menasihati agar mereka pulang. 

“Yang gak kalah mengkhawatirkan, tindakan anak anak berlebihan pada bule, apalagi bule itu perempuan,” ujar sumber, namun tak ingin informasinya dimuat.  

Aceng, seorang warga Lokal asal Mandalika pun mengungkapkan, banyak anak-anak diantar dari desa-desa sekitar pukul 9 malam dan dijemput kembali pada dini hari.

“Biasanya jam dua atau tiga pagi saya lihat mereka baru pulang, kadang juga dijemput. Mereka bukan warga asli Kuta, kebanyakan datang dari luar ujar,” tukasnya. 

Aceng menilai, di balik gemerlap Mandalika yang kini menjadi ikon pariwisata NTB, terselip kenyataan pahit tentang anak-anak kecil yang dipaksa ikut menanggung beban ekonomi keluarga.

“Mereka seharusnya tidur dan sekolah, bukan keliling malam-malam jual gelang. Kalau begini terus, pariwisata kita cuma indah di luar, tapi rapuh di dalam,” ujarnya menutup percakapan.

Kata-kata Aceng menggema seperti tamparan halus di tengah hiruk pikuk malam Mandalika. Di satu sisi, pemerintah dan investor berlomba mempercantik kawasan wisata; di sisi lain, anak-anak justru kehilangan masa kecilnya di bawah cahaya neon yang semu.

Mereka berlari di antara tawa turis, tapi bukan untuk bermain. Melainkan berada di ruang yang tipis, antara bertahan hidup atau eksploitasi.

Zona Merah Pekerja Anak

Sekelompok anak anak jualan gelang hingga malam hari di kawasan Kuta Mandalika. Foto: Sita Saraswati

Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Sitti Ari, mengaku terkejut usai mengetahui maraknya pekerja anak di kawasan wisata Mandalika, Lombok Tengah. 

Ia menegaskan, praktik tersebut tidak bisa ditoleransi dan akan segera ditindaklanjuti.

“Saya sangat tidak setuju dengan adanya pekerja anak ini. Kami di DPRD akan segera mendalami dan berkoordinasi dengan anggota DPRD Lombok Tengah untuk menindaklanjutinya,” tegas Sitti Ari, dihubungi NTBSatu, Senin, 20 Oktober 2025

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan, NTB menempati posisi ketiga tertinggi pekerja anak di Indonesia, dengan persentase 5,51 persen. Angka itu berarti ribuan anak di provinsi ini telah bekerja sebelum waktunya, kehilangan masa bermain demi membantu ekonomi keluarga

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan, NTB menempati posisi ketiga tertinggi pekerja anak di Indonesia, dengan persentase 5,51 persen. Angka itu berarti ribuan anak di provinsi ini telah bekerja sebelum waktunya, kehilangan masa bermain demi membantu ekonomi keluarga.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, anak didefinisikan sebagai setiap orang berusia di bawah 18 tahun. Artinya, anak-anak yang berjualan hingga dini hari di kawasan wisata Mandalika termasuk kategori pekerja anak.

Ironisnya, di tengah lonjakan kunjungan wisata ke KEK Mandalika yang hingga pertengahan 2025 mencapai 573 ribu wisatawan persoalan sosial seperti pekerja anak justru menghantui wajah pariwisata NTB.

Kepala Dusun Menereng, Desa Kuta Mandalika, Supriyadi, menyatakan penolakannya terhadap keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi malam hari.

“Anak-anak itu seharusnya belajar dan bermain, bukan mencari uang di jalan. Ini jelas merenggut hak dan masa kecil mereka,” tegasnya kepada NTBSatu.

Ia mengakui tekanan ekonomi memang menjadi alasan utama, namun menilai praktik itu tetap tidak bisa dibenarkan. Menurutnya, perlu ada intervensi menyeluruh dari pemerintah dan dinas terkait agar masalah ini tidak terus berulang.

“Kami di tingkat dusun sudah sering mengimbau, tapi daya kami terbatas. Pemerintah daerah, dinas sosial, dan pariwisata harus duduk bersama. Masalah ini harus dibenahi dari hulu ke hilir supaya tuntas,” tutupnya.

Anak Tameng Ekonomi

Kerumunan anak anak yang berjualan di Kuta Mandalika. Foto: Sita Saraswati

Fenomena ini pun mendapat perhatian Baiq Dewi Yuningsih, pendidik dan pendiri Anak Alam Intercultural School di Kuta.

Ia menilai, pesatnya pariwisata tidak dibarengi kesiapan sosial dan pendidikan masyarakat lokal.

“Kuta Mandalika berkembang luar biasa cepat. Tapi banyak orang tua yang akhirnya menjadikan anak sebagai tameng ekonomi. Anak dianggap lebih mudah dikasihani oleh turis,” ujar Dewi.

Ia menyebut, keterlibatan anak-anak dalam mencari nafkah tak lepas dari krisis ekonomi keluarga, di mana sebagian orang tua terjerat utang, kehilangan pekerjaan, atau tenggelam dalam judi online. 

Situasi itu memaksa anak-anak kecil keluar di tengah dinginnya malam, berkeliling di antara bar dan restoran, mencari rezeki yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab mereka.

“Padahal itu bentuk eksploitasi terselubung. Anak-anak kehilangan ruang aman. Kita sering melihat mereka berjualan dengan sikap memelas, bahkan memaksa. Wisatawan jadi risih, dan yang paling rugi adalah anak-anak itu sendiri.”

Aktivis perempuan dan anak, Nur Jannah menyoroti sisi lain yang lebih mengkhawatirkan risiko kekerasan dan eksploitasi di tengah gemerlap wisata.

“Anak-anak ini berkeliaran di kawasan bar sampai larut malam tanpa pengawasan. Itu sangat berbahaya. Mereka bisa menjadi sasaran pelecehan, pedofilia, atau bahkan ditarik jaringan narkoba. Mandalika harusnya tempat bermain, bukan tempat mereka bertahan hidup,” jelasnya.

Nur Jannah menilai, lemahnya pengawasan dan minimnya program perlindungan anak membuat situasi ini terus berulang.

“Pemerintah harus lebih tegas. Jangan biarkan pariwisata yang membanggakan ini justru menumbuhkan luka sosial,” harapnya. (*)

IKLAN

Berita Terkait

Back to top button