HEADLINE NEWSLingkunganLombok Timur

Dari Dapur Inaq Rumisah: Biogas, Lupis, dan Harapan Baru di Kaki Rinjani

Mataram (NTBSatu) – Di balik aroma khas lupis yang mengepul dari dapur sederhana di Dusun Lekong Pituk Deye, Desa Tete Batu Selatan, Lombok Timur, tersimpan cerita perubahan yang lebih dalam dari sekadar kuliner tradisional.

Inaq (Ibu dalam Bahasa Sasak) Rumisah, perempuan 56 tahun, sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan lupis keliling desa.

Wajahnya menyiratkan keramahan dengan gerak tubuh yang lincah. Ia setiap hari harus menyiapkan dagangan sejak subuh, berjuang memenuhi kebutuhan keluarga.

Namun, usia yang tidak lagi muda dan kondisi suami yang sering sakit, membuat aktivitas sehari-harinya semakin menantang.

Empat anaknya juga tak semuanya tinggal di dekatnya. Dua merantau ke Kalimantan, sementara dua lainnya menetap di dusun berbeda.

IKLAN

Namun, perubahan besar pun datang ketika Inaq Rumisah mulai menggunakan kompor yang dialiri energi biogas untuk memasak.

“Sudah dua bulan saya masak pakai biogas. Alhamdulillah, lebih enak sekarang. Nggak perlu lagi repot cari kayu atau bingung kalau gas habis,” ujar Inaq Rumisah sambil menyiapkan ratusan lupis untuk dijual.

Mengubah Hidup Lewat Energi Bersih

Dari dapur mungil itu, dengan biaya produksi rendah dan hasil penjualan yang stabil, Inaq mampu menghasilkan Rp80 ribu hingga Rp100 ribu per hari. Ia menjual lupis seharga Rp500 per sisir, baik dari rumah maupun berkeliling desa.

IKLAN

Meski tampak sederhana, penggunaan biogas telah membawa ketenangan yang selama ini sulit dirasakan.

“Dulu saya harus menghemat kayu dan gas, terutama saat suami sakit. Sekarang tinggal nyalakan biogas, masak, dan berjualan. Tetangga juga mulai tertarik,” kenangnya.

Potensi dan Keberagaman Dusun

Desa Tete Batu Selatan terdiri dari sekitar 130 kepala keluarga, dengan total penduduk lebih dari 6.500 jiwa. Kawasan ini memiliki tujuh dusun, masing-masing dengan kekhasannya sendiri.

Pertama, Dusun Lekong Pituk Deye, yang terkenal sebagai sentra pertanian padi dan hortikultura, dengan lanskap sawah yang memesona.

IKLAN

Kedua, Dusun Lekong Pituk Lauk, berfokus pada agrowisata dan budidaya tanaman lokal. Ketiga, Dusun Lendang Penyonggok yang kuat dalam pelestarian budaya dan tradisi lokal.

Kemudian Dasan Penyonggok yang memiliki mata air alami, mendukung konservasi dan ekowisata. Kelima, Dusun Otak Bangket, cocok untuk trekking dan wisata petualangan karena topografinya yang berbukit.

Keenam Dusun Sompang, pusat UMKM kreatif, terutama produk kerajinan dan olahan lokal.

Terakhir, Dusun Keselet Aren, sebagai sentra produksi gula aren dan produk turunannya, seperti dodol dan sirup.

IPAL Komunal yang berada sekitar 20 meter dari rumah Inaq Rumisah. Foto: Sita Saraswati.

Kepala Desa Tete Batu Selatan, H. Zohri Rahman menyampaikan, seluruh dusun kini bergerak dalam satu semangat yang sama. Membangun dari desa, untuk desa.

Ia berharap, teknologi biogas dapat menjadi titik awal yang menghubungkan potensi pertanian, peternakan, dan pariwisata.

Harapannya, semua elemen masyarakat bisa tumbuh bersama secara berkelanjutan. “Kami tidak hanya membangun infrastruktur, tapi membangun cara pandang masyarakat. Energi ini bukan sekadar nyala api di tungku, tapi pijakan ekonomi,” tukasnya.

Langkah Nyata Menuju Desa Mandiri Energi

Program biogas ini digagas oleh LSM Gema Alam. Mereka mendapat dukungan kuat dari pemerintah desa, dan didampingi oleh Sekolah Setara.

Melihat potensi 550 peternak sapi dan melimpahnya limbah organik rumah tangga, akhirnya tercipta teknologi biogas fixed dome berkapasitas 6 kubik mulai dibuat, dengan menghabiskan anggaran kolektif sebesar Rp15 juta.

“Sampah dan limbah bukan hanya persoalan, tapi peluang. Kalau dikelola dengan benar, bisa jadi sumber energi sekaligus penggerak ekonomi,” jelas  Yuldiastuti, CEO Sekolah Setara yang mendampingi program ini.

Namun, ia menambahkan, tantangan terbesar justru bukan pada teknologinya. Melainkan kesadaran masyarakat.

“Membangun pemahaman warga itu tidak cukup sehari dua hari. Butuh pendekatan yang terus menerus dan konsisten. Di desa ini ada ribuan penduduk, ratusan peternak, dan letaknya dekat kawasan hutan. Artinya, potensi limbahnya besar tapi kalau tidak dikelola, justru bisa jadi beban,” tegas Tuti.

Tantangan dan Harapan

Menurut Tuti, dalam mengimplementasikan biogas, tak semua berjalan mulus.

Kenyataannya, literasi energi masyarakat belum merata. Jarak antara kandang dan rumah warga masih jadi tantangan dalam distribusi limbah.

Namun seperti bentuk peta Desa Tete Batu Selatan yang menyerupai kapak. Merupakan sebuah simbol kerja keras. Tuti berharap, warga desa ini tak pernah berhenti membelah tantangan.

Dan Inaq Rumisah, dengan dapur sederhananya, menunjukkan bahwa energi baru bisa membawa hidup baru.

“Dulu saya cuma tahu masak pakai kayu atau gas. Sekarang saya tahu, kotoran sapi bisa jadi energi. Bisa jadi berkah,” kata Inaq Rumisah sambil tertawa kecil.

Lupis-lupis terus dikukus, menjadi simbol bahwa energi bersih bukan hanya menghangatkan panci, tetapi juga membuka jalan bagi pemberdayaan perempuan, pengembangan ekonomi lokal, dan masa depan desa yang mandiri. (*)

Berita Terkait

Back to top button