Mataram (NTBSatu) – Kasus keracunan makanan menimpa lima siswa SDN Repok Tunjang, Desa Taman Indah, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah menjadi sorotan serius.
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Mataram mengungkap uji laboratorium. Hasilnya, makanan yang para siswa itu konsumsi dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E. coli).
Kepala Dinas Kesehatan Lombok Tengah, Suardi menyebut, kontaminasi tersebut mereka temukan dalam bahan makanan berupa telur dalam menu MBG.
“Dari hasil pemeriksaan BPOM, ditemukan adanya E. coli sehingga menimbulkan gangguan pencernaan pada anak-anak,” ungkap Suardi, Sabtu, 10 Mei 2025.
Ia menambahkan, E. coli umumnya berasal dari kotoran manusia dan bisa masuk ke makanan akibat buruknya sanitasi.
Dinas Kesehatan akui tak terlibat dari awal
Menurutnya, kasus ini menyoroti pentingnya penerapan protokol kebersihan yang ketat dalam seluruh proses pengolahan makanan. Kebersihan harus terjaga dari hulu ke hilir.
“Mulai dari petugas, alat, hingga bahan makanan yang digunakan harus dipastikan bersih dan aman,” tegasnya.
Namun, Suardi mengakui, pihaknya menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi, Dinas Kesehatan bertanggung jawab menjamin kesehatan masyarakat—termasuk melalui program MBG.
Namun, di sisi lain, mereka tidak terlibat dalam pengawasan teknis program tersebut.
“Kalau kita dilibatkan sejak awal, tentu petugas kesehatan bisa mendampingi dan mengawasi langsung proses penyajian makanan. Mungkin kasus seperti ini bisa dicegah,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, BBPOM Mataram turut menegaskan, bahwa pihaknya telah menerima sampel MBG yang diduga menjadi penyebab keracunan.
Tanggapan BPOM Mataram
Kepala BBPOM Mataram, Yosef Irwan, menilai bahwa kejadian ini merupakan alarm penting untuk memperkuat penerapan keamanan pangan dalam program MBG.
“MBG adalah program yang sangat baik untuk mendukung tumbuh kembang anak, namun kita tidak boleh lengah terhadap aspek keamanannya. Pangan yang dikonsumsi harus bebas dari cemaran fisik, kimia, maupun mikrobiologi,” jelas Yosef, Minggu, 6 Mei 2025.
Ia menambahkan, program MBG mencakup jumlah konsumsi yang besar, sekitar 3.000 hingga 3.500 siswa per SPPG.
Oleh karena itu, pengawasan keamanan pangan harus berlangsung secara menyeluruh. Mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga distribusinya.
“Setiap dapur MBG harus menerapkan Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik. Ruang produksi, peralatan, hingga penjamah makanan harus memenuhi standar higiene dan sanitasi,” katanya.
Yosef juga mengingatkan, satu tahapan yang terlewat dalam proses produksi bisa berdampak pada mutu dan keamanan makanan.
“Kami siap mendukung, baik melalui standarisasi dapur produksi MBG maupun pelatihan keamanan pangan bagi para penjamah. Namun pengujian sampel sebaiknya juga bisa dilakukan melalui pihak ketiga. Karena kami memiliki keterbatasan anggaran jika harus melakukan uji sampel harian di semua SPPG,” jelasnya.
Pihak BBPOM dan Dinas Kesehatan sepakat bahwa pencegahan adalah langkah terbaik untuk menghindari kejadian serupa.
“Lebih baik sedia payung sebelum hujan. Komitmen terhadap keamanan pangan harus dimulai dari pimpinan hingga pelaksana, dilakukan terus menerus, dan dievaluasi secara berkala,” pungkas Yosef.
Saat ini, kelima siswa yang sempat mengalami gejala keracunan telah mendapatkan perawatan dan kondisi mereka pun sudah membaik.
Namun, kasus ini mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program MBG. Terutama pelibatan tenaga kesehatan dan penguatan pengawasan mutu makanan. (*)