Dinas Tenaga Kerja Turun Tangan
Para karyawan telah mengadukan masalah ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Mataram dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB.
Menurut pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, persoalan ini berada dalam kewenangan Dinas Tenaga Kerja Kota Mataram.
Namun, dalam pertemuan tripartit pertama, perwakilan pengusaha yang hadir tidak bisa memberikan keputusan strategis.
“Pengusaha yang bersangkutan tidak hadir, hanya mengirim perwakilan yang tidak bisa mengambil keputusan penting. Kami berharap ada jalan keluar terbaik agar kami mendapatkan hak kami,” kata Silahudin.
Sebagai langkah selanjutnya, ia menyebut Dinas Tenaga Kerja Kota Mataram akan memfasilitasi pertemuan bipartit dalam waktu dekat.
“Kami berharap ada jalan keluar terbaik dan karyawan mendapatkan haknya,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Mataram, H. Rudi Suryawan membenarkan penyataan tersebut. Pihaknya akan membantu untuk memberikan titik terang, terkait permasalahan PHK yang terjadi antara pihak manajemen hotel dengan karyawan tersebut.
“Proses mediasi masih berlangsung, kita semua berharap secepatnya akan ada jalan keluar,” ujarnya kepada NTBSatu, hari ini.
NTBSatu mencoba menghubungi pihak perusahaan, dalam hal ini Sekretaris Grand Legi Hotel, Atika.
Namun telpon dan pesan WhatsApp yang NTBSatu kirimkan kepadanya pada Selasa, 18 Februari 2025 siang hingga berita ini turun, tidak mendapat respons apapun.
Kepemilikan Hotel Pasca Pemilik Meninggal
Sejak pemilik Grand Legi, Anita Ahmad meninggal dunia, hotel mengalami ketidakpastian.
Karyawan menilai seharusnya kepengurusan hotel tetap berjalan karena berada di bawah naungan CV Multi Karya. Berarti ada pihak lain yang juga terlibat dalam kepemilikan dan pengelolaan hotel sejak 1997 itu.
“Bu Amelia yang PHK kami, kami pikir dia bagian dari owner. Seharusnya ada yang bertanggung jawab untuk melanjutkan kepengurusan,” kata Silahudin.
Banyak karyawan yang telah mengabdikan diri selama 27–30 tahun di hotel tersebut, kini merasa kehilangan mata pencaharian tanpa kejelasan kompensasi yang adil.
Mereka pun bertekad untuk terus memperjuangkan hak mereka hingga mendapatkan keadilan.
“Kami hanya meminta apa yang menjadi hak kami, tidak lebih, tidak kurang,” pungkasnya. (*)