Mataram (NTBSatu) – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas inisial IWAS alias Agus terus bergulir. Selain salah satu mahasiswi perguruan tinggi, ternyata Agus diduga memiliki korban lain.
Ketua Komisi Disabilitas Derah (KDD) NTB, Joko Jumadi mengaku, sejak Senin, 2 Desember 2024 pagi, pihaknya menerima laporan yang menyebut adanya korban lain. Jumlahnya tiga orang. Informasi KDD terima, mereka berusia di bawah 18 tahun.
“Peristiwanya ada di tahun 2022, ada juga tahun 2024,” kata Joko kepada NTBSatu.
Berangkat dari laporan tersebut, KDD kemudian berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram. Mereka melakukan tracking atau melacak kebenaran tiga anak menjadi korban pria 21 tersebut.
Menurut Joko, adanya kemungkinan korban lain harus dibuka di publik. “Supaya fair. Artinya kami tetap melindungi korban, tapi tidak boleh mengabaikan hak korban,” jelas akademisi Universitas Mataram (Unram) ini.
Nama korban dan keberadaannya sudah terverifikasi. Mereka berada di wilayah Kota Mataram. Para korban mengalami kejadian serupa dengan modus dan kasus yang sama. Bahkan di antara mereka, ada yang dipacari Agus.
“Sekarang kita fokus apakah dia bisa menjadi saksi, masuk BAP atau tidak. Walaupun tidak, bagaimana hak mereka bisa dipenuhi sebagai korban,” ujar Joko.
Sementara, Dir Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat menyebut, penanganan kasus Agus sudah masuk ke kejaksaan.
“Tinggal menunggu kelengkapan dari jaksa. Kalau Jaksa oke, segera kita P21,” katanya.
Terkait dengan korban lain, sambung Syarif, pihaknya akan mendalaminya terlebih dahulu. Jika nantinya para korban lain melapor, kepolisian akan menindaklanjutinya.
“Tapi paling tidak sebagai petunjuk kita ada korban lain,” sebutnya.
Modus Agus menjalankan aksinya
Teka teki bagaimana Agus menjalankan aksi dugaan kekerasan seksual terhadap mahasiswi perguruan tinggi negeri Mataram, terungkap.
Antara pelaku dan korban tidak saling mengenal. Keduanya bertemu di Teras Udayana pada 7 Oktober 2024. Saat itu, korban sedang di lokasi untuk membuat konten media sosialnya.
Sementara pelaku datang dari rumahnya dengan menumpang kendaraan lain. Karena saat itu, motor khusus yang ia miliki dalam kondisi rusak.
Begitu melihat korban sedang membuat konten, kata Syarif, pelaku datang dan memperkenalkan diri. “Ini keterangan yang kita dapat dari berita acara (BAP, red),” ungkap Dir Reskrimum.
Saat itu pula Agus mengajak korban melihat pasangan melakukan perbuatan mesum. Raut wajah korban sontak berubah sedih. Ia pun menceritakan “aibnya” kepada pelaku.
Bukannya bersimpati, Agus jutsru memanfaatkan kesedihan itu sebagai peluangnya melakukan kekerasan seksual. Usai mendengar cerita korban, muncul hasratnya melakukan tindakan tak terpuji tersebut.
“Kamu itu berdosa. Perlu dibersihkan. Kamu harus mandi. Kalau tidak, aib kamu akan saya buka dan saya sampaikan ke orang tua kamu,” jelas Syarif mengikuti ucapan Agus.
Merasa takut mendengarkan ancaman Agus, korban terpaksa mengikuti ucapan pelaku. Keduanya selanjutnya berboncengan menuju salah satu homestay di wilayah Mataram.
“Kendaraan yang digunakan memang kendaraan korban, karena pelaku tidak bawa kendaraan. Tetapi yang mengarahkan ke homestay adalah si pelaku,” beber Syarif.
Sesampainya di tempat penginapan, Agus kembali mengancam korban. Sehingga, mau tidak mau ia mengikuti pelaku sampai di kamar nomor 6.
Di dalam kamar, korban membuka baju pelaku. Ia terpaksa mengikuti hal tersebut karena lagi-lagi Agus mengancamnya. Di sana Agus juga membuka pakaian dalam korban menggunakan jari kakinya.
“Jadi tidak kenal dari awal. Berkenalan di TKP,” jelas Syarif.
Korban Merasa Diintimidasi
Sementara, pendamping korban dari Lembaga Bantuan Hukum Mangandar NTB, Andre Saputera menyebut, yang membuka dan menutup pintu kamar adalah pelaku. Ia menggunakan gigi dan mulutnya.
Di dalam kamar, korban sempat ingin melawan dengan berteriak. Namun Agus lagi-lagi mengancam korban dengan ucapan, “Apalagi kamu berteriak maka akan didengar orang luar kamar. Kalau di dengar orang di luar kamar, maka kita akan dinikahkan.”
“Karena mendengar intimidasi seperti itu, korban merasa takut dan diam,” jelas Andre.
Sementara kuasa hukum Agus, Indra Pradipta belum merespons konfirmasi NTBSatu terkait kasus dugaan kekerasan seksual tersebut.
Namun, Joko Jumadi mengatakan bahwa pria penyandang disabilitas itu mendapatkan bantuan hukum dari Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Unram.
“Karena hak pendampingan hukum. Kita sudah berkomunikasi bahwa Polda harus aksesibel. Ini yang kita pastikan, pengadilan harus aksesibel terhadap pelaku. Ini hanya tangan. Tidak terlalu susah. Yang penting hak-haknya tidak tercabut,” tutup Joko. (*)