Mataram (NTBSatu) – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas wilayah Kota Mataram inisial IWAS atau Agus mengungkap fakta lain. Keterangan yang polisi dapat, meski dengan keterbatasan fisik tanpa lengan, pelaku peloroti celana korban menggunakan kaki.
Dir Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat menyebut, hal tersebut berdasarkan kesimpulan penyidikan yang Subdit IV lakukan. Intinya, meski memiliki keterbatasan fisik tak menghalangi Agus melakukan dugaan kekerasan seksual.
“Berdasarkan fakta-fakta dari proses penyidikan, tersangka tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban. Karena, tersangka melakukan persetubuhan terhadap korban dengan menggunakan kekuatan kedua kakinya,” jelas Syarif kepada NTBSatu, Minggu, 1 Desember 2024.
Hal serupa juga Agus lakukan dalam kehidupannya sehari-hari. Ia menggunakan kedua kakinya untuk menutup pintu, makan, tanda tangan, dan menggunakan sepeda motor khusus. Karenanya, Syarif menilain, Agus tidak memiliki hambatan untuk melakukan dugaan kekerasan seksual.
Pernyataan Syarif bahwa Agus benar melakukan kekerasan seksual bukan tanpa alasan. Berdasarkan analisa psikologi, tersangka memiliki kecenderungan membaca situasi dan mengatur ulang strategi. Sehingga tergolong lihai, mahir, dan sudah terbiasa.
“Spek emosional tersangka terpengaruh dari sosial influence (judi, miras), termasuk bully yang pelaku alami sejak umur empat tahun. Sehingga, kondisi tersebut meningkat pada tindakan menyetubuhi,” jelasnya mengikuti ucapan Ahli Psikologi, Lalu Yulhaidir.
Agus bisa melakukan hal menyimpang terhadap perempuan dengan kondisi fisik normal. Korban, kata Syarif, merupakan perempuan dengan kondisi lemah secara kognitif, emosi, dan kepribadian.
“Ada juga perempuan yang sebelum terpapar tentang seksual,” ungkapnya.
Sementara berdasarkan pemeriksaan ahli terhadap korban, sambung Syarif, korban pernah terpapar seksual dari mantan pacarnya. Sehingga berpotensi untuk menjadi korban kekerasan seksual.
Bagian emosional korban yang dominan ketakutan membuatnya menuruti kemauan atau permintaan dari terduga pelaku.
Alat bukti lain sehingga polisi menetapkan Agus sebagai tersangka adalah adanya keterangan dari sejumlah saksi. Di antaranya teman korban, dan pengakuan saksi lain bahwa ia juga mengalami peristiwa yang sama.
“Adapun inti dari pada keterangan saksi- saksi tersebut mendukung hasil laporan korban,” ungkap mantan Wakapolresta Mataram ini.
Dijerat UU TPKS
Sebelumnya, Subdit IV Dit Reskrimum Polda NTB menetapkan pria usia 21 tahun sebagai tersangka setelah mengantongi alat bukti yang cukup. Polisi menjerat Agus dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam pasal 6 UU TPKS tidak hanya berbicara menuntut unsur paksaan dan kekerasan. Melainkan juga berkaitan dengan unsur tindakan yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan kekerasan seksual.
“Jadi, sekali lagi UU TPKS itu tidak murni menyarankan adanya unsur paksaan,” kata Kasubdit IV Dit Reskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, Jumat, 22 November 2024.
Meski tak menyebut secara rinci, Pujawati hanya memastikan, penetapan tersangka berdasarkan proses hukum yang berlaku. Polisi juga memeriksa sejumlah saksi dan memeriksa ahli psikolog dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Serahkan Proses Hukum ke APH
Sementara, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi mengatakan, untuk proses hukum ia menyerahkan sepenuhnya kepada APH.
“Biarlah pengadilan yang memutuskan dan mengujinya,” ujarnya kepada NTBSatu Jumat, 29 November 2024.
Akademisi Universitas Mataram (Unram) itu juga menyoroti pro kontra kasus dugaan kekerasan seksual tersebut. Menurut Joko semua tersangka sama di mata hukum, kendati yang bersangkutan merupakan penyandang disabilitas.
Dalam kasus Agus, Joko menilai bahwa proses hukum yang polisi jalankan sesuai dengan aturan. Alat bukti yang terkumpul sudah mengarah pada benarnya ada dugaan kekerasan seksual.
Hanya saja yang perlu APH perhatikan, sambung Joko, hambatan-hambatan ketika menangani kasus yang melibatkan penyandang disabilitas. Contohnya, ketika tersangka merupakan tuna rungu wicara, maka kepolisian harus menggandeng pihak yang bisa menggunakan bahasa isyarat.
Salah satu langkah LPA Mataram lakukan adalah dengan memberi rekomendasi kepada Polda NTB agar Agus tak menjalani penahanan di Rutan. Namun menjadi tahanan rumah. Dan kepolisian mengiyakan permintaan tersebut.
Pengajuan sebagai tahanan rumah, kata Joko, bagian dari langkah pihaknya memberikan bantuan terhadap pria asal Monjok Griya, Kelurahan Monjok, Kecamatan Selaparang tersebut.
“Saya meminta tim memberikan pendampingan. Artinya, ini kan pada posisi ada disabilitas sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban,” sebutnya.
Karena itu, Joko mengaku pihaknya siap memberikan pertolongan yang diperlukan Agus. Begitu juga kepada korban, LPA Mataram juga akan memberikan bantuan hukum jika dibutuhkan.
Sementara Agus dalam beberapa video beredar mengaku, pelaporan terhadap dirinya merupakan fitnah. Ia berdalih tak mungkin melakukan pemerkosaan di tengah kondisi fisiknya seperti itu.
“Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” sebutnya dalam video tersebut. (*)