Kasus lepasnya engsel gerbang DPRD NTB sebenarnya bisa disederhanakan. Dewan bisa saja menempuh jalan damai melalui Restorative Justice (RJ). Masalah selesai. Menjadi rumit ketika sikap dewan terbelah akibat “perlawanan” dari internal. Laporan tak kunjung dicabut, mencuat kasus dugaan pelecehan Polwan. Mental mahasiswa belum pulih dari tuduhan tersebut, kasus pidana gerbang jalan terus.
—————————
Hazrul Falah, Muh Alfarid, Mavi Adiek, Rifqi Rahman, Kharisman Samsul, dan Deny Ikhwan, tak pernah menyangka aksi solidaritas Tanggal 23 Agustus 2024 lalu berujung ancaman jeruji besi. Mereka, layaknya mahasiswa lainnya di Indonesia, menggeruduk gedung DPRD, menolak revisi UU Pilkada.
Aksi damai saat itu memang sempat berubah gaduh. Mahasiswa menggoyang gerbang bagian Selatan, lalu engselnya terlepas. Tidak ada keberatan saat itu dari pimpinan DPRD NTB, bahkan mereka menerima mahasiswa dan menyimak pembacaan pernyataan sikap yang berlangsung tertib.
“Setelah itu, massa langsung membubarkan diri,” kenang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram, Herianto.
Tiga hari kemudian, mereka dikejutkan dengan surat panggilan pemeriksaan saksi dalam kasus perusakan gerbang. Tanggal 15 Oktober 2024, Polda NTB menetapkan enam mahasiswa jadi tersangka.
Para tersangka sebagian semester awal dan menengah. Lima mahasiswa masih semester III dan V, dan satu orang semester akhir yang sedang susun skripsi.
Kuasa hukum para mahasiswa, Yan Mangandar, SH.,MH melayangkan petisi melalui laman change.or.id dengan judul “cabut laporan terhadap 6 mahasiswa dikriminalisasi”. Dibuka mulai 18 November 2024, sampai dengan berita ini disusun, 471 tanda tangan dari target 500.
“Jika laporan ini terus dibiarkan, NTB menghadapi risiko kehilangan generasi muda kritis, aktif dan peduli terhadap perubahan sosial,” tulis Yan Mangandar.
Tegang di Paripurna
Enam mahasiswa yang terbelit kasus hukum ini jadi masalah semakin serius karena diangkat ke sidang paripurna ketiga, 14 November 2024 lalu. Sedianya fokus pada agenda pandangan fraksi terhadap enam Raperda usulan Prakarsa Bapemperda DPRD NTB, namun berubah sengit karena diwarnai interupsi dari anggota dewan.
Suhaimi dari PDIP mempertanyakan sikap pelaporan enam mahasiswa dalam kasus dugaan perusakan gerbang DPRD NTB Tanggal 23 Agustus 2024 lalu. Tak jelas batasan, apakah mewakili lembaga atau personal sebagai ketua dewan.
“Saya mau menegaskan, apakah posisi sebagai Ketua DPRD mengambil sikap (melapor), sebagai representasi DPRD?,” tanya Suhaimi. “(Jika atasnama lembaga) harus ada SOP, prosedur yang ditempuh,” sambung Suhaimi.
Pertanyaan Suhami ini bersahutan dengan interupsi yang dilontarkan anggota DPRD NTB dari Partai Perindo, M. Nashib Ikroman.
Ia kembali mempertanyakan alasan paling mendasar di balik laporan terhadap mahasiswa. Hingga sidang paripurna ketiga sejak ia dilantik, tak kunjung mendapat jawaban konkret.
Jawaban yang diterima sebelum paripurna ketiga itu, pimpinan DPRD NTB akan berkoordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, TNI yang tergabung dalam Forkopimda membahas keputusan kasus para mahasiswa tersebut. Jika sikap Forkopimda sama dengan pimpinan dewan, dengan tegas ia menolak.
“Apa yang diputuskan pimpinan dewan dengan Forkompimda, saya secara pribadi menyatakan keberatan,” tegas Acip, sapaannya.
Menanggapi Acip dan Suhaimi, Isvie menegaskan laporan itu sebenarnya atasnama Kepala Sekretariat Dewan H. Surya Bahari. Meski begitu, laporan itu ditegaskannya sebagai representasi lembaga dewan.
“Sikap ini adalah sikap lembaga, dan saya kira tidak ada persoalan pribadi, ini lembaga. Tentunya kita memegang teguh tata tertib DPRD,” tandasnya.
Kasus ini bukan semata kriminal murni terkait perusakan aset daerah berupa gerbang, lebih dari itu, ada situasi yang berkaitan dengan stabilitas daerah. Belakangan terungkap, yang dimaksud Isvie adalah dugaan pelecehan seksual. Pelakunya oknum mahasiswa, namun tak eksplisit disebut siapa korbannya.
Ada Dugaan Pelecehan, Tapi…
Salah seorang anggota DPRD NTB yang enggan disebut identitasnya, mengakui ada indikasi pelecehan seksual dan sempat jadi bahan diskusi internal. Seorang anggota Polisi Wanita (Polwan) merasa bagian sensitifnya dipegang saat terjadi kisruh demonstran.
Kejadian itu didukung adanya video yang beredar di kalangan terbatas.
“Harusnya polisi fokus pada delik pelecehan seksual jika memang merasa berdampak pada institusinya. Bukan menitik beratkan pada perusakan gerbang,” ujar sumber.
Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat tak mengelak. Ia membenarkan, dalam aksi yang berlangsung pada 23 Agustus 2024 tersebut ada kasus dimaksud.
“Iya memang ada. Tapi pelapornya atau korban tidak melaporkan,” katanya kepada NTBSatu belum lama ini.
Korban dugaan pelecehan seksual itu adalah salah satu anggota Polwan Polresta Mataram. Kendati demikian, yang bersangkutan tidak ingin melaporkan kejadian tersebut.
“Tidak mau disebutkan namanya. Karena itu haknya juga, kita tidak bisa memaksakan juga,” ujarnya.
Syarif juga mengakui ada video yang sudah beredar di kalangan terbatas dan jadi bahan penyelidikan. Ada tangan yang menyentuh bagian depan tubuh personel Polresta Mataram tersebut.
“Memang kelihatan pernah ada waktu di TKP, Polwan di depan kesentuh tangan. Itu tangan siapa, itu yang masih samar. Karena cepet sekali. Itu video samar,” jelasnya.
Kesimpulan dari peristiwa dugaan pelecehan ini, Syarif mengaku prosesnya tidak bisa dilanjutkan.
Sebelumnya, Dir Reskrimum Polda NTB mengungkap, berdasarkan penyelidikan panjang pihaknya tak ingin memproses kasus tersebut.
” Daripada salah menuduh orang, mempidanakan orang, lebih baik kita menahan diri mencari bukti lain yang lebih menguatkan,” sambung Syarif.
Minta Polisi Objektif
Merespons sikap Polda NTB itu, pemerhati masalah pidana, Dr. Syamsul Hidayat meminta polisi lebih objektif.
Menurut Syamsul Hidayat, kasus perusakan gerbang dan dugaan kekerasan seksual dua hal yang berbeda.
“Saya mendorong Polda NTB untuk tetap mengusut kasus dugaan kekerasan seksual dan menghentikan kasus pengerusakan gerbang. Jangan mencampuradukkan perkara-perkara yang memang berbeda konteks. Tidak produktif sekali bila membungkam mahasiswa dengan cara memenjarakan mereka,” terang Syamsul Hidayat.
Ketua Bagian Hukum Pidana FHISIP Universitas Mataram ini mengatakan, Restorative Justice sangat berpeluang.
Mahasiswa yang datang untuk demo ke Kantor DPRD NTB seharusnya dilihat sebagai aksi solidaritas tanpa niat melawan hukum. Mahasiswa datang untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat yang mempersoalkan permasalahan yang terjadi di daerah dan pusat.
“Para mahasiswa datang atas kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. Perilaku mahasiswa yang merusak gerbang Kantor DPRD NTB tidak dapat disebut sebagai mens rea untuk tindak pidana. Harus diuji dahulu,” ungkap Syamsul Hidayat, Sabtu, 16 Oktober 2024.
Dalam konteks yang sama, ada juga kasus perusakan gerbang Kantor Bupati Lombok Tengah. Hanya saja, Pemda Lombok Tengah menghentikan kasus tersebut. Artinya, Pemda memahami bahwa mahasiswa merupakan agen perubahan yang penting dalam mengawal pembangunan.
Polda Tegaskan Netral
Direktur Reskrimsus Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat kembali menegaskan, antara kasus dugaan pelecehan seksual dan perusakan gerbang, masing masing berdiri sendiri.
Sejauh ini ia memastikan tidak ada intervensi, baik secara institusi maupun kewenangan sejak proses penyelidikan sampai penyidikan.
“Saya tidak ada hubungan dengan Ketua DPRD NTB. Saya netral, saya independen. Saya hanya menegakkan saja, tidak ada sangkut pautnya,” tegas Syarif.
Begitu juga menanggapi soal kasus perusakan gerbang yang hanya jadi simbolik untuk menutupi indikasi pelecehan seksual. Sekali lagi, kasus pelecehan seksual tidak bisa dilanjutkan karena tanpa keberatan korban. Sementara perusakan gerbang sudah dapat dibuktikan secara materil.
“Toh bukan hanya kita yang membuktikan. Pasti minta dukungan para ahli. Ahli pidana, bahasa,” tegasnya lagi.
Bahas Serius dengan Seluruh Fraksi
Pimpinan DPRD NTB menggelar pertemuan dengan seluruh fraksi untuk membahas terkait pelaporan enam mahasiswa tersebut. Hal ini menyusul adanya perdebatan dalam rapat paripurna, Senin, 11 November 2024.
“Benar pertemuannya membahas terkait pelaporan mahasiswa tersebut, namun saya tidak bisa komentar lebih jauh. Karena, ini haknya ketua langsung,” kata Anggota DPRD NTB dari Perindo, Nashib Ikroman.
Persoalan ini belum juga ada titik temu. Isvie tetap dengan sikapnya. Karena pelaporan enam mahasiswa tersebut sudah melalui diskusi dengan pimpinan fraksi DPRD yang lama. Sikap ini, lanjut Isvie, untuk menjaga ketertiban lembaga.
“Saya kira kita hormati proses ini dan saya selaku Ketua DPRD mengawal agar hal-hal yang mengkhawatirkan kita semua tidak akan terjadi. Dan itu kemarin saya sampaikan di dalam pertemuan,” jelas Isvie sebelumnya.
Dorongan Tempuh Jalan Damai
Selasa, 19 November 2024, Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat NTB Melawan, melaporkan Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB. Laporan terkait pernyataan Isvie yang menyebut dugaan pelecehan seksual oleh oknum mahasiswa, semakin memperuncing konflik Mahasiswa vs pimpinan DPRD NTB.
Apalagi, dari enam mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan perusakan gerbang tersebut, tidak ada satu pun yang diperiksa terkait pelecehan seksual.
NTBSatu mencoba mewawancarai kembali Ketua DPRD NTB. Namun kali ini ia memilih enggan berkomentar dan melempar itu ke Polda NTB. “Silakan tanya pak Kapolda,” jawab Isvie singkat saat dicegat di Polda NTB, Jumat 22 November 2024.
Dorongan agar jalan damai ditempuh, terus disuarakan sejumlah pihak. Dari kalangan akademisi, Syamsul Hidayat menyarankan kedua pihak menurunkan ego masing masing. Lembaga Dewan yang dipimpin Isvie Rupaedah legowo menerima permintaan maaf kemudian cabut laporan.
“Untuk menyelesaikan kasus ini, saya menyarankan agar mahasiswa meminta maaf dan tidak lagi bertindak anarkis. Namun, apabila terus bergulir, ya harus dihadapi,” tutupnya.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unram, Dr. Sujita, berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi seluruh mahasiswa Unram untuk lebih bijak dalam bertindak. Terutama saat menyampaikan aspirasi di ruang publik.
“Ini adalah pembelajaran penting. Berdemonstrasi boleh, tapi harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar hukum,” ucapnya. Selebihnya, proses pendampingan hukum tetap diberikan, khususnya mahasiswa yang kuliah di Unram.
Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat menambahkan, perkara perusakan gerbang ini bisa saja selesai melalui langkah restorative justice atau RJ. Dengan catatan, syarat formil dan materil harus terpenuhi. Baik dari DPRD NTB sebagai pelapor maupun mahasiswa sebagai pihak terlapor.
Kalau secara normatif, sambung Syarif, ini bukan delik aduan. Melainkan pidana murni. Pencabutan laporan dan damai itu solusinya.
“Tapi kami tak bisa mengarahkan begitu. Kalau kami mengarahkan seperti itu. Nanti kami dipikir berpihak sama pelapor, terlapor,” ungkap mantan Wakapolresta Mataram ini. (*)
Tim Lipsus NTBSatu
Penanggung Jawab: Haris Mahtul
Editor: Zhafran Zibral
Tim Liputan:
• Zulhaq Armansyah
• Muhammad Yamin
• I Gusti Ayu Pradnya Premasita Saraswati
• Khairurrizki
• Gilang Sakti Ramadhan