Mataram (NTBSatu) – Tim Barang Kena Cukai (BKC) Ilegal Provinsi NTB, yang terdiri dari Bea Cukai Mataram dan Satpol PP Lombok Utara melakukan Operasi Gempur Rokok Ilegal I & II, pada 1 Januari-7 November 2024.
Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto, mengatakan,
penindakan ini merupakan salah satu langkah menghentikan peredaran rokok ilegal secara represif.
“Hasil dari giat ini, Tim BKC berhasil mengamankan sebanyak 62.778 batang rokok tanpa pita cukai dan 22,8 kg tembakau iris (TIS), dengan perkiraan nilai barang Rp89,7 juta dan potensi kerugian negara Rp48,1 juta,” jelasnya.
Adapun hasil dari operasi pasar ini, lanjut Adi, nantinya akan dimusnahkan. Pemusnahan rokok ilegal bertujuan guna memutus rantai peredaran dan edukasi kepada masyarakat agar tidak tergoda dengan iming-iming keuntungan besar dari penjualan rokok ilegal.
“Memang kalau dihitung harga rokok ilegal lebih murah hampir dua kali lipat dibandingkan yang legal, karena tidak membayar pajak cukai,” terangnya.
Kendati demikian, kebijakan pengenaan pajak rokok ini juga merupakan kontribusi bersama antara pemerintah dan para pemangku kepentingan terutama pelaku usaha rokok.
Paling sedikit 50 persen dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum demi membangun pelayanan publik yang lebih baik di daerah.
Disamping itu, Adi berharap kesadaran masyarakat semakin meningkat untuk tidak mengonsumsi rokok ilegal karena membahayakan kesehatan.
“Tentu rokok ilegal sangat berbahaya ya, yang legal saja sudah bahaya apalagi yang ilegal. Pasti itu kan tidak sesuai komposisi kandungannya, tidak terukur dan tidak melalui uji laboratorium,” tandasnya.
Mengenal Cukai dan Ketentuannya
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:
A. Untuk yang dibuat di Indonesia:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
B. Untuk yang diimpor:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Larangan dan Sanksi
Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Pemanfataan Hasil Cukai
Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.
“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.
Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.
Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.
“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)