ADVERTORIALBappeda NTB

Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal di KLU Lewat Peresean dan Wayang Kulit

Mataram (NTBSatu) – Bea Cukai Mataram berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lombok Utara (KLU) mengadakan sosialisasi gempur rokok ilegal, dalam pagelaran seni budaya peresean dan wayang kulit. Kegiatan berlangsung di Lapangan Tioq Tata Tunaq Tanjung, Lombok Utara.

Adapun penyelenggaraan peresean, pada Kamis, 18 Juli 2024. Sementara, wayang kulit hari Sabtu, 20 Juli 2024.

Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, Adi Cahyanto, bersama dengan salah satu pegawai Seksi KIP Bea Cukai Mataram, Lalu Maulana Firdaus Kukuh, hadir menjadi narasumber dalam kedua kegiatan tersebut.

Keduanya menekankan bahwa masyarakat harus dapat mengenali ciri-ciri rokok ilegal agar tidak terjebak untuk membeli rokok ilegal yang beredar di masyarakat.

“4 ciri-ciri rokok ilegal dapat dikenali dari pita cukainya, yaitu: rokok tidak berpita cukai, rokok dengan pita cukai bekas, rokok dengan pita cukai palsu, dan rokok dengan pita cukai berbeda,” terang Adi.

Ia turut menyampaikan bahaya rokok ilegal, yaitu merugikan penerimaan negara, menjadikan persaingan usaha tidak sehat. Kemudian, memunculkan perokok pemula bagi anak di bawah umur dan bahaya kesehatan yang lebih besar. Sebab, produksinya tidak melalui pengujian kadar tar dan nikotin.

Selain itu, kegiatan sosialisasi yang dirangkaikan dengan pertunjukan kesenian tradisional peresean dan wayang kulit memiliki daya tarik besar bagi masyarakat lokal.

Peresean merupakan pertarungan antara dua lelaki (pepadu) dengan menggunakan tongkat dan perisai yang dibuat dari bahan rotan. Sedangkan wayang kulit merupakan pertunjukan wayang yang dimainkan oleh H. Lalu Nasib, Dalang Wayang Sasak yang terkenal.

“Di sela-sela pertunjukannya, dalang yang sudah menjadi legenda di Pulau Lombok itu menyisipkan pesan tentang dukungan terhadap program gempur rokok ilegal,” tukas Adi.

Adapun sosialisasi ini merupakan bentuk kerja sama Bea Cukai dan Pemerintah Daerah, dalam memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di bidang penegakan hukum.

Mengenal Cukai dan Ketentuannya

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:

A. Untuk yang dibuat di Indonesia:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

B. Untuk yang diimpor:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Larangan dan Sanksi

Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”

Pemanfataan Hasil Cukai

Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.

“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.

Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.

Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.

“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button