ADVERTORIALBappeda NTB

Bea Cukai Gelar Sosialisasi Rokok Ilegal di Acara Fashion Street Dayan Gunung

Mataram (NTBSatu) – Bea Cukai Mataram mengadakan sosialisasi Gempur Rokok llegal dalam acara Fashion Street Dayan Gunung 2024 di Kabupaten Lombok Utara.

Adapun acara ini termasuk dalam rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Lombok Utara (KLU) ke-16, tanggal 21 Juli 2024. Yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata KLU, pada Kamis, 1 Agustus 2024, bertempat di halaman Kantor Bupati Lombok Utara.

Acara Fashion Street Dayan Gunung ini diawali dengan laporan kegiatan yang dibacakan oleh Ketua Dekranasda KLU, Galuh Nurdiyah Djohan Sjamsu. Kemudian, sambutan dari Kepala Bea Cukai Mataram, I Made Aryana, dan Bupati KLU, Djohan Sjamsu.

Dalam acara tersebut, Bupati KLU juga menyerahkan penghargaan kepada Bea Cukai Mataram atas sinergi melalui berbagai kegiatan dalam program gempur rokok ilegal.

Adapun sosialisasi gempur rokok ilegal disampaikan oleh Tim Humas Bea Cukai Mataram dengan narasumber adalah Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, Adi Cahyanto, bersama dengan salah satu pegawai Seksi KIP Bea Cukai Mataram, Luthfia Dharojati S.

Keduanya menekankan, bahwa masyarakat harus dapat mengenali ciri-ciri rokok ilegal dan juga dampak negatif yang ditimbulkan.

“Acara sosialisasi ini juga merupakan bentuk kerja sama Bea Cukai dan Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di bidang penegakan hukum,” terang Adi.

Harapannya, kesadaran masyarakat dapat meningkatkan sehingga meminimalisir peredaran rokok ilegal di Kabupaten Lombok Utara.

Mengenal Cukai dan Ketentuannya

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:

A. Untuk yang dibuat di Indonesia:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

B. Untuk yang diimpor:

  1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
  2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Larangan dan Sanksi

Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”

Pemanfataan Hasil Cukai

Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.

“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.

Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.

Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.

“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button