Mataram (NTBSatu) – Gubernur NTB, Dr. Lalu Muhamad Iqbal, datang dengan visi besar.
Menjadikan Nusa Tenggara Barat mendunia sebagai destinasi pariwisata berkelas, dengan jargon andalannya NTB Makmur Mendunia.
Berbekal pengalamannya sebagai mantan Duta Besar, besar harapan masyarakat agar Gubernur Iqbal dapat memperkokoh jejaring internasional untuk menarik wisatawan dan event berskala global.
Namun di tengah gaung visi mendunia itu, pelaku pariwisata NTB menyebut sektor ini mengalami sedikit kelelahan.
Industri ini karena masih terlalu mengandalkan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) yang kian mengecil kontribusinya sejak pemerintah menerapkan efisiensi anggaran.
Kunjungan Turun, Ekonomi Lokal Terpukul
Ketua ASITA NTB, Dewantoro Umbu Joka, menyebut pada kuartal I tahun 2025, tingkat kunjungan hanya sebesar 10 persen.
Penurunan tajam ini merupakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, yang selama ini menjadi tulang punggung sektor MICE di NTB.
“Dampaknya bukan hanya ke ASN. UMKM kehilangan pembeli, hotel sepi tamu. Ini efek domino,” ujar Umbu pada NTBSatu, Selasa, 27 Mei 2025.
Ia berharap, pemerintahan Iqbal-Dinda segera melakukan gebrakan agar kunjungan wisata meningkat, minimal 20–25 persen pada kuartal II.
Optimisme tetap ada, karena beberapa biro perjalanan mulai menerima studi banding dari daerah lain.
“Pariwisata mendunia bukan mimpi kosong. Kami ingin Pak Gubernur bantu koneksikan kami dengan jejaring internasionalnya agar event-event internasional bisa hadir di NTB,” ujarnya.
Bertumpu pada Event, PHK Mengintai
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa mengakui hal sama. Ia menyebut Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Mataram pada Maret 2025 hanya 26,36 persen.
Turun drastis jika perbandingannya Februari sebesar 32,75 persen. Sehingga ini jauh dari ideal.
“Sekarang kita hanya bertahan dari event pemerintah. Tapi kalau itu berhenti, operasional tidak tertutup. Pilihan terakhir ya PHK,” kata Adiyasa.
Kondisi nyata terjadi di Hotel Grand Legi Mataram, yang telah memutus hubungan kerja 60 karyawan.
Sebanyak 48 orang menuntut pesangon yang belum tuntas terbayarkan.
“Awalnya kami menuntut Rp1,9 miliar sesuai ketentuan. Tapi karena pertimbangan kekeluargaan, kami turunkan jadi Rp1 miliar,” kata Muslehudin, perwakilan karyawan.
Ia menyebut, mencari pekerjaan saat ini sangat sulit, terlebih bagi usia di atas 40 tahun.
Kasus Grand Legi menjadi potret nyata, bagaimana ketergantungan terhadap MICE tanpa diversifikasi pariwisata bisa memukul sektor formal hingga ke akar.
Over Supply Hotel, Minim Atraksi
Adiyasa menyoroti masalah mendasar lainnya: over supply kamar hotel. Data AHM menyebut ada sekitar 7.000 kamar tersedia di Mataram, termasuk hotel non-anggota. Namun jumlah wisatawan tidak bertambah signifikan.
“Hotel terus bertambah, tapi wisatawan stagnan. Ini memicu perang tarif yang tidak sehat,” tegasnya.
Ia menekankan perlunya diversifikasi atraksi.
“Orang datang bukan cuma karena pemandangan. Mereka datang karena ada konten, cerita, dan event,” tukasnya.
Ia pun mengusulkan pembangunan taman hiburan, kebun binatang, serta even budaya tahunan seperti Pesta Kesenian Bali atau Pekan Raya Jakarta.
Dinas Pariwisata: Harus Ada Perubahan
Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata NTB, Lalu Ahmad Nur Aulia, menyebut pihaknya tengah menyusun strategi baru untuk keluar dari ketergantungan pada MICE dan pentingnya membangun pariwisata yang berkualitas dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
“Kami tidak bisa terus-menerus berharap dari MICE. Harus ada konten, harus ada pelibatan komunitas lokal,” kata Aulia.
Ia memastikan pemerintah kini sedang menjaring masukan dari pelaku lapangan untuk menentukan arah pembangunan yang berdampak nyata.
“Kami sedang mendengarkan masukan dari pelaku lapangan agar arah pembangunan ini berdampak nyata,” tandasnya. (*)