Mataram (NTBSatu) – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, ada 4.842 tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Juni 2024. Laporan tersebut terpublikasikan dalam Satu Data Kemnaker pada Kamis, 25 Juli 2024.
Secara kumulatif, ada 32.064 tenaga kerja yang ter-PHK pada Januari – Juni 2024. Angka tersebut melonjak 21,45 persen. Pada periode yang sama di tahun sebelumnya, korban PHK tercatat hanya 26.400 tenaga kerja.
Berdasarkan wilayahnya, korban PHK terbanyak berada pada Provinsi DKI Jakarta. Tercatat, ada 7.469 tenaga kerja yang menjadi korban PHK pada Juni 2024.
Sedangkan, Provinsi Gorontalo menjadi provinsi yang mencatatkan kasus PHK paling sedikit, yakni 18 orang. Sementara itu, ada tiga provinsi yang belum ada catatan kasus PHK, seperti Provinsi NTB, Bengkulu, dan Papua.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), I Gede Putu Aryadi mengatakan, masalah PHK merupakan salah satu fokus utama dalam sektor ketenagakerjaan.
“Indikator kinerja utama kami adalah bagaimana menanggulangi pengangguran, meningkatkan penyerapan angkatan kerja, pendapatan daerah, serta mengurangi kasus perselisihan hubungan industrial,” ungkap Aryadi, Senin, 12 Agustus 2024.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, jumlah angkatan kerja pada Februari 2024 mencapai 3,03 juta orang. Meningkat sebanyak 163,34 ribu orang dibandingkan Februari 2023.
Meskipun ada peningkatan jumlah angkatan kerja, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2024 justru turun 0,42 persen.
Adapun kini jumlah tenaga kerja pada sektor informal di NTB sekitar 1,8 juta orang dan formalnya hanya sekitar 700 ribu orang.
“Setiap tahunnya, terdapat penambahan angkatan kerja baru sebanyak 160-200 ribu orang,” ungkap Aryadi.
Hal tersebut memang mencerminkan NTB kebagian bonus demografi. Banyak angkatan kerja, kata Aryadi, merupakan salah satu modal untuk mendorong laju perekonomian daerah. Namun, hal ini juga bisa menjadi masalah, jika tidak mampu mengelolanya secara cermat.
“Kita sudah mengantongi bonus SDM. Langkah selanjutnya, pemerintah harus akan akses dan pelatihan yang menjadi kebutuhan industri,” pungkasnya. (*)