Lombok Timur (NTBSatu) – Penjabat (Pj) Bupati Lombok Timur, M Juaini Taofik, bertemu dengan Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Lombok Timur, M Khairul Ihsan, pada Senin, 22 Juli 2024 lalu.
Pj Bupati menggelar pertemuan tersebut pasca viralnya kasus bocah usia tujuh tahun meninggal dunia di RSUD Soedjono diduga akibat terganjal biaya dan administrasi.
Meski peristiwa itu memancing komentar miring banyak pihak terkait pelayanan RSUD Soedjono, namun Taofik enggan menyalahkan pihak rumah sakit.
Menurutnya, langkah rumah sakit sudah sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Ia pun menyimpulkan peristiwa itu terjadi hanya karena kesalahan komunikasi semata.
Imbas peristiwa itu, Taofik mengatakan segera melakukan penertiban kepesertaan BPJS Kesehatan pada masyarakat. Di mana ia menduga telatnya penanganan kepada Wardi akibat BPJS Kesehatan yang tidak aktif.
“Ini yang jadi persoalan ketika datang berobat ke rumah sakit, ternyata BPJS-nya tidak aktif,” ucap Taofik.
Taofik mengungkapkan, meski kepesertaan masyarakat Lombok Timur dalam BPJS Kesehatan mencapai 98,6 persen, tetapi keaktifan masih di angka 75,8 persen.
“Artinya ada kesenjangan antara kepesertaan aktif dengan tidak,” ucap Taofik.
Ia meminta agar kasus ini menjadi pelajaran dan atensi seluruh pihak agar tidak ada lagi Wardi kedua.
Taofik juga mendorong semua pihak terlibat untuk memperkecil kesenjangan tersebut.
Ia juga meminta semua instansi terkait hingga kepala desa untuk menyisir masyarakat yang kepesertaan BPJS-nya tidak aktif. Terutama masyarakat kurang mampu yang kepesertaannya mendapat pembiayaan oleh pemerintah.
Ulasan Kasus Meninggalnya Bocah di RSUD Selong
Sebelumnya, peristiwa memilukan itu menimpa Khairul Wardi ketika berobat di RSUD Soedjono Selong. Ia meregang nyawa setelah pengobatannya terganjal biaya pada Kamis, 18 Juli 2024 malam.
Kepala Desa Kembang Kerang, Yahya Putra, mengungkapkan korban yang mengidap sakit di bagian kepala dibawa oleh keluarganya untuk melakukan pemeriksaan.
Namun, pihak rumah sakit justru meminta pembayaran terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan kepada korban. Nilainya mencapai Rp1 juta.
Keluarga korban yang sedang tidak punya uang pun meminta pertolongan kepada Yahya agar segera mendapat penanganan.
Nahasnya, saat Yahya tiba membantu, kondisi korban telah kritis, bahkan sempat mengalami kejang. Nyawa korban pun tidak dapat terselamatkan.
“Saya bingung, kok, begitu cara mereka (rumah sakit). Jangan mereka cari biaya dulu kalau memang penanganannya harus cepat untuk mengetahui penyakitnya segera. Karena anak ini sangat kritis dan kejang-kejang, harus tahu cepat penyakitnya,” ketus Yahya.
Imbas peristiwa itu, Yahya mengaku kecewa dengan pelayanan RSUD Soedjono yang lebih mementingkan uang dan dokumen administrasi ketimbang nyawa manusia.
“Jangan begitu caranya, dilayani dulu masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, ungkap Yahya, kesedihan dan kekecewaan mendalam juga sangat nampak dari wajah pihak keluarga.
Yahya mengatakan, ia dan keluarga korban tidak kuasa membendung air mata menyaksikan anak sekecil itu meninggal dalam kondisi lelah kesakitan.
“Saya tidak kuasa menahan tangis melihat anak itu lelah kesakitan. Sehingga saya sangat merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit itu,” ucapnya.