Lombok Timur (NTBSatu) – Lembaga pengawasan pelayanan publik, Ombudsman NTB, mengatensi potensi maladministrasi dan malpelayanan di RSUD Soedjono Selong.
Ombudsman mengambil atensi tersebut setelah ramainya kasus bocah usia tujuh tahun yang meninggal dunia di rumah sakit. Kematian boah itu diduga lantaran terkendala administrasi dan biaya.
Kepala Ombudsman NTB, Dwi Sudarsono, menegaskan sesuai ketentuan Pasal 15 UU Nomor 25 Tahun 2009, penyelenggara pelayanan publik seperti RSUD Soedjono berkewajiban memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik.
“Kemudian penyelenggara pelayanan publik wajib melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan,” kata Dwi, Kamis, 25 Juli 2024.
Sementara menurut Pasal 18 UU Nomor 25 Tahun 2009, masyarakat berhak mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan Ombudsman.
Lalu masyarakat juga berhak mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan Ombudsman.
Ketiga, masyarakat juga harus mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
Melihat kasus tersebut, Dwi pun meminta kepada pihak korban untuk melapor ke Ombudsman apabila merasa rugi akibat pelayanan pihak RSUD Soedjono Selong.
“Keluarga pasien dapat berkonsultasi atau melaporkan kejadian ini untuk mendalami duduk persoalan pelayanan publik di RSUD,” ucap Dwi.
Sementara ini, Dwi belum membocorkan apakah pihaknya akan terjun ke lapangan untuk melakukan investigasi terkait kualitas pelayanan RSUD Soedjono Selong.
Ulasan Kematian Bocah di Lombok Timur
Sebelumnya, peristiwa memilukan itu menimpa Khairul Wardi ketika berobat di RSUD Soedjono Selong. Ia meregang nyawa setelah pengobatannya terganjal biaya pada Kamis, 18 Juli 2024 malam.
Kepala Desa Kembang Kerang, Yahya Putra mengungkapkan, korban yang mengidap sakit di bagian kepala dibawa oleh keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Namun, pihak rumah sakit justru meminta pembayaran terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan kepada korban. Nilainya mencapai Rp1 juta.
Keluarga korban yang sedang tidak punya uang pun meminta pertolongan kepada Yahya agar segera mendapat penanganan. Nahasnya, saat Yahya tiba membantu, kondisi korban telah kritis, bahkan sempat mengalami kejang. Nyawa korban pun tidak dapat terselamatkan.
“Saya bingung, kok, begitu cara mereka (rumah sakit). Jangan mereka cari biaya dulu kalau memang penanganannya harus cepat untuk mengetahui penyakitnya segera. Karena anak ini sangat kritis dan kejang-kejang, harus tahu cepat penyakitnya,” ketus Yahya.
Imbas peristiwa itu, Yahya mengaku kecewa dengan pelayanan RSUD Soedjono yang lebih mementingkan uang dan dokumen administrasi ketimbang nyawa manusia.
“Jangan begitu caranya, dilayani dulu masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, ungkap Yahya, kesedihan dan kekecewaan mendalam juga sangat nampak dari wajah pihak keluarga. Yahya mengatakan, ia dan keluarga korban tidak kuasa membendung air mata menyaksikan anak sekecil itu meninggal dalam kondisi lelah kesakitan.
“Saya tidak kuasa menahan tangis melihat anak itu lelah kesakitan. Sehingga, saya sangat merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit itu,” ucapnya.