Oleh: Widodo Dwi Putro – Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram
Sebagai akademisi, tertarik untuk meneliti kasus-kasus yang terjadi belakangan ini di masyarakat. Khususnya, di Lombok Tengah bagian Selatan, sejumlah petani di tempat yang berbeda, dalam waktu yang berdekatan, menjadi tersangka dan ditahan. Menurut pihak kepolisian, mereka menjadi tersangka dan ditahan karena melakukan perbuatan pidana perusakan. Sementara dari pihak petani yang menjadi tersangka, mereka mengaku berjuang mempertahankan hak atas tanahnya.
Laboratorium Hukum
Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat itu, merupakan laboratorium hukum “par excellence” yang bisa dipelajari. Untuk melihat kasus-kasus tersebut, tidak cukup hanya mencocokan perbuatan-perbuatan itu dengan unsur-unsur hukum, lalu dengan penafsiran silogisme menarik konklusi. Kita perlu membedahnya lebih dalam agar melihat kasus hukum itu pada ketelanjangannya yang tuntas. Kasus-kasus itu, diantaranya;
Pertama, Yakup beserta istri dan adik iparnya, warga Selong Belanak, harus menerima kenyataan pahit kala berhadapan dengan P.T. Panjimara yang melakukan pemagaran pada tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh Yakup, serta tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh Salim Bagis dan Suhermanto, dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah aset P.T. Panjimara.
P.T. Panjimara yang bersikukuh mengklaim tanah itu sebagai miliknya, menggunakan preman agar pemagaran tetap dilakukan. Bahkan, pemagaran itu juga mencaplok tanah keluarga Yakub yang sehari-hari berkerja sebagai petani. Suhermanto dan Yakup memilih jalur hukum dengan melapor ke aparat penegak hukum dengan harapan pihak Kepolisian Resor Lombok Tengah dapat membantu. Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, justru Yakup, istri beserta adik iparnya ditetapkan sebagai Tersangka beberapa hari setelah membuka pagar yang dipasang PT. Yakup dan keluarga membuka pagar, untuk masuk ke lahan menanam padi guna menyambung hidup.
Anehnya, meski sama-sama mengadukan ke Kepolisian Resor Lombok Tengah, keduanya mengalami nasib yang berbeda yakni, Yakub, istri dan iparnya ditahan. Padi yang ditanam keluarga Yakup pun tumbuh. Menjelang panen, padi itu pun dirampas preman yang menjaga PT. Untuk yang kesekian kali, Yakup pun mengadu ke pihak kepolisian atas perampasan padi tersebut. Tapi, tidak ada kelanjutannya. (Data riset AGRA, 2024).
Sempat penahanan Yakup, istri, dan adik iparnya itu ditangguhkan pada 5 Februari 2024, lantaran pada saat itu diketahui P.T. Panjimara tidak memiliki alas hak. Mengetahui hal tersebut, pada bulan Maret 2024 P.T. Panjimara dengan sigap mengambil tindakan ke Kantor Wilayah Pertanahan Nusa Tenggara Barat dan Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah untuk membatalkan Sertifikat Hak Milik atas 6 bidang tanah milik Salim Bagis dan Suhermanto. Di bulan itu juga Pihak BPN Wilayah Nusa Tenggara Barat membatalkan 6 Sertifikat Hak Milik Salim Bagis dan Suhermanto yang masih tercatat atas nama R. Samisara, tanpa putusan pengadilan dan tanpa ada klarifikasi atau mediasi terlebih dahulu dengan pihak yang berkepentingan (dalam hal ini: Salim Bagis dan Suhermanto). Tak berhenti sampai di situ, bulan Juni 2024, Pihak BPN Lombok Tengah juga menerbitkan SHGB atas nama P.T. Panjimara di atas tanah tersebut. Tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh Yakup pun, di luar Sertifikat Hak Milik Salim Bagis dan Suhermanto, masuk dalam sertifikat HGB PT Panjimara tersebut. (Data riset LSBH, 2024)
Berdasar SHGB yang terbit dikemudian hari itu (Juni 2024), maka Yakup, istri dan adik iparnya menjadi tersangka dan ditahan dengan dijerat Pasal 170 KUHP jo. 406 KUHP atas tuduhan pengrusakan pagar milik P.T. Panjimara yang dilakukannya pada sekitar bulan November 2023. Padahal, saat itu (November 2023), pembatalan terhadap 6 SHM belum dilakukan. Lebih aneh lagi, waktu November 2023 itu belum terbit SHGB atas nama P.T. Panjimara.
Mahasiswa hukum semester satu pun heran dan mempertanyakan: Bukankah memasang pagar di atas tanah yang dikuasai dan dimiliki orang lain tergolong Perbuatan Melawan Hukum? Bukankah apa yang dilakukan Yakup merupakan upaya mempertahankan hak? Tragis benar nasib Yakup sekeluarga, niat hati mempertahankan tanah yang dikuasai dan dimiliknya serta menentang pemasangan pagar di atas tanah miliknya, justru harus mendekam di ruang tahanan.
Kedua, kasus yang dialami Amaq Mai, warga Mertak. Awalnya, P.T. ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) melakukan “klaim” atas lahan milik keluarga Amaq Mai sebagai kawasan Mandalika dengan Blok HPL S.S1, di sekitaran Batu Kotak, Tanjung Aan, Dusun Ebangah, Desa Sengkol, melalui pemasangan plang bertuliskan “lahan milik negara”, tanpa disertai nomor HPL. Berkali-kali Amaq Mai berupaya menjelaskan bahwa tanahnya yang masuk Kawasan Ekonomi Khusus itu belum dibayar. Amaq Mai sebenarnya telah lama berjuang sejak penggusuran tahun 1993 (zaman Orde Baru) sampai sekarang, hingga ia nekad melakukan pembongkaran plang yang bertuliskan “lahan milik negara”. Akhirnya, Amaq Mai yang telah berusia lebih dari 80 tahun itu mendapat panggilan dari Polda NTB. Pada 4 Juli, 2024 Amaq Mai dan Sahnan menerima surat tembusan dari Kepolisian Daerah (POLDA) NTB, dengan Nomor: B/86/VII/RE.1.10./2024/Ditreskrimum, yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaaan Tinggi Provinsi Nusa Tenggara Barat, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan. (Data riset AGRA, 2024).
PT ITDC memang perusahaan plat merah (BUMN). Namun, dengan mengantongi HPL (Hak Pengelolaan Lahan) ia bisa menawarkan HGB (Hak Guna Bangunan) di atas lahan tersebut kepada sejumlah investor seperti Master Land Utilization & Development Agreement (Luda), Vinci Construction Grands Projetcs (VCGP), EBD Paragon, Accord Group, Grand Mercure Hotel, Marriot Group,Club Med, Lees International Development, Novotel, Westin Hotel, Pullman Hotel, dan investor lainnya. Hal itu menunjukan bagaimana dibalik pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesungguhnya berkelindan dengan kepentingan ekonomi global. (Berita Bisnis.com dengan judul “Mandalika Dapat Komitmen Investasi Rp17 Triliun”, diakses 17 Februari 2022).
Ketiga, petaka yang menimpa Burhari, selaku kepala dusun Tomang-omang. Bermula dari berugak yang diletakkan pihak suruhan P.T. Esa Swardhana Tani di atas lahannya. Burhari sempat bingung, mencari konfirmasi atas berdirinya berugak tersebut. Pada 3 Juni 2024, warga dusun Tomang-Omang melakukan upaya pemindahan berugak yang memicu adu mulut dengan orang-orang yang mengatasnamakan suruhan P.T. Esa Swardhana Tani. Kondisi memanas di lapangan, memantik peristiwa pembakaran berugak yang kemudian menjadi dasar ditetapkannya 9 warga Tomang-Omang sebagai tersangka dan ditahan. Mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP , 406 KUHP dan Pasal 160 KUHP oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. (Data riset LBH Mataram – YLBHI, 2024).
Sangat disayangkan, mengapa arah penegakan hukum semakin menjauhi semangat ultimum remedium? Apakah karena ada kepentingan oligark di dalamnya, sehingga penegakan hukum pidana menjadi primum remedium?
Hukum Di Bawah Kaki Oligarki?
Bukan kali pertama ungkapan-ungkapan sinikal yang dibalut sindiran mengkritik birokrasi dan aparat penegak hukum di negeri ini. Birokrasi dan aparat penegak hukum yang dirancang memberikan pelayanan kepada publik, yang juga bertebaran poster anti gratifikasi, tidak jarang tunduk pada pelayanan privat, bergantung pada nilai tawar yang disepakati di bawah meja.
Hukum bercorak transaksional. Corak yang demikian berpihak pada para oligark, yang jumlahnya di Indonesia hanya 2/1.000.000 populasi. Di tahun 2010 saja, data memperlihatkan bahwa rata-rata kekayaan bersih (the average net worth) 40 oligark Indonesia mencapai lebih dari 630.000 kali PDB (Produk Domestik Bruto) per kapita (selisih 190.000 dengan Thailand dan 69.000 dengan Korea Selatan). Namun, aset gabungan mereka setara dengan 10% dari PDB. Dengan kata lain, rata-rata kekayaan segelintir mereka itu 1.220 kali pendapatan tahunan median Indonesia. (Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia”, Indonesia 96, 2013, hlm. 11).
Kita sekarang mulai mengetahui bahwa kasus-kasus hukum yang menimpa amaq-inaq di atas, akar sebenarnya adalah sengketa agraria antara orang-orang lokal yang mempertahankan tanahnya melawan akumulasi dan ekspansi oligark. Sejak dibangun sirkut balap di Kuta Mandalika, tanah di Lombok Tengah bagian Selatan menjadi komoditi yang diperebutkan para oligark yang lapar lahan. Coba amati, sepanjang jalan kita temui papan dengan huruf besar “LAND FOR SALE”. Bukit-bukit di Selatan dari Kuta, Prabu, Mawun hingga Selong Belanak yang dulunya menjadi penyangga air ketika musim kemarau panjang dan mencegah banjir di musim hujan, sekarang ditanami beton-beton villa. Sempadan pantai yang seharusnya menjadi ruang publik, pun diprivatisasi. Pelanggaran tata ruang yang terang-benderang itu tidak tersentuh penegakan hukum.
Dari aspek komersialisasi tanah, menyebabkan orang-orang lokal makin terjepit, terdesak, bahkan terlempar dari kampung halamannya. Sementara dari komersialisasi hukum, menyebabkan kehilangan kejujuran dan rasa malu dalam banalitas penegakan hukum. Anak muda Kuta menceritakan kasus yang menimpa keluarganya itu kepada seorang wartawan bule dengan bahasa Inggris pasaran: “Money Talk Before the Law and Rule of the Few”. Ketika masyarakat akhirnya lelah dan sesekali meludah sambil ngremon, “uang bicara, semua lancar”. Secara semiotik, itu tanda bahaya!!