Daerah NTB

Hingga 17 Mei 2024, Dinkes NTB Catat 1.762 Kasus DBD, 1 Orang Meninggal

Mataram (NTBSatu) – Demam Berdarah Dengue (DBD), penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang diperantai oleh nyamuk Aedes Aegepty betina dan Aedes Albopictus menjadi penyakit yang harus diwaspadai pada musim pancaroba.

Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat kasus DBD sebanyak 1.762 kasus hingga 17 Mei 2024, dengan 1 kasus meninggal dunia yang terjadi pada April.

Sejak 1 hingga 17 Mei ini, terdapat laporan 47 kasus DBD dengan rincian 10 kasus di Lombok Tengah, 18 kasus di Lombok Utara, 14 kasus di Sumbawa, 1 kasus di Kabupaten Bima, dan 4 kasus di Kota Bima.

“Demam Berdarah Dengue (DBD) sangat identik dengan musim hujan. Berdasarkan pola tren kasus DBD dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan kasus pada awal tahun yang salah satu penyebab utamanya dipicu oleh kondisi cuaca,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Dr. dr. H. Lalu Hamzi Fikri, Selasa, 6 Juni 2024.

Ia menjelaskan, adanya perubahan musim terkait DBD, dapat dilihat dari Kalender Risiko Penyakit di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Di mana, Desember dan Januari memiliki kriteria risiko Demam Berdarah Dengue (DBD) sangat tinggi, Februari dan Maret memiliki risiko tinggi, April memiliki resiko sedang dan Mei hingga September memiliki resiko rendah terhadap kejadian kasus DBD.

“Untuk kasus DBD di NTB, pada Januari ada 298 kasus, Februari 380 kasus, Maret 513 kasus April memang 522 kasus dan sedikit melandai sampai dengan tanggal 17 Mei baru ditemukan 47 kasus,” rincinya.

Merespons hal ini, pihaknya kemudian bergerak cepat dalam merespons setiap alert yang muncul di Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR) melalui tindakan penyelidikan epidemiologi kurang dari 1×24 jam.

Ia mengimbau agar masyarakat mewaspadai DBD dengan mengenali fase awalnya yang mirip dengan flu. Hal ini ditandai dengan rasa nyeri sendi, demam, sakit kepala hebat, hingga mual. Selain itu, timbulnya demam berat yang berlangsung 2 sampai 7 hari juga menjadi gejala DBD.

Berita Terkini:

“Apabila merasakan gejala-gejala tersebut, segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,” tukasnya.

Adapun rekomendasi penanganan kasus DBD, yang diberikan Dinkes, antara lain dengan cara meningkatkan deteksi dini kasus di Fasilitas Kesehatan (Puskesmas, Klinik, RS) dengan memanfaatkan RDT NS1 yang sudah didistribusikan ke seluruh Kabupaten/Kota, melaksanakan surveilans ketat sampai peningkatan kasus berakhir, melakukan PSN 3M Plus yang benar, tepat dan maksimal, serta melakukan evaluasi terhadap pelaksanaannya dengan melihat kenaikan Angka Bebas Jentik (ABJ) ke indikator >95 persen.

Selain itu, meningkatkan dan memberdayakan masyarakat melalui kegiatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) secara masif, melakukan survei vektor 1 bulan sekali sesuai dengan Permenkes No.2 Tahun 2023 (100 rumah sesuai juknis) di wilayah lainnya, koordinasi lintas sektor (Pemda, Dinas Pendidikan, TNI/POLRI, LSM) dalam pelaksanaan PSN dan evaluasinya, peningkatan sensitivitas surveilans DBD baik terhadap kasus maupun vektornya.

“Khusus di daerah perkotaan dan objek vital seperti daerah pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara, pelabuhan udara, laut dan darat perlu mendapat perhatian lebih,” tambahnya.

Kendati demikian, Fikri menyebut pencegahan DBD yang paling utama adalah dengan menerapkan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan konsep 3M Plus.

“Menguras dan menyikat bak penampungan air, Menutup tempat penampungan air, Memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas, Plus menggunakan obat nyamuk, penaburan larvasida, pemasangan kawat, dan gotong royong menjaga dan membersihkan lingkungan,” tutupnya. (STA)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button