Mataram (NTBSatu) – Wali Kota Bima Periode 2018 – 2023, H. Muhammad Lutfi buka suara setelah divonis majelis hakim dengan 7 tahun penjara, Senin, 3 Juni 2024.
Lutfi menanggapi kejanggalan dalam putusan tersebut, karena ada perbedaan kerugian negara dengan amar putusan hakim.
“Kerugian negara 8,6 Miliar tapi dituntut jaksa 1,9 miliar. Tapi hakim menyatakan bahwa tidak pernah menerima gratifikasi,” katanya kepada wartawan setelah menjalani persidangan.
Lutfi mengatakan, berdasarkan putusan yang dibacakan hakim diketuai Putu Gde Hariadi, bahwa dirinya dinyatakan tidak terlibat Pasal 12 B Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999.
“Hanya dikatakan pengadaan (barang dan jasa) tidak langsung. Tidak ada satupun yang mengatakan saya ikut andil,” katanya ditemui wartawan setelah menjalani persidangan di PN Tipikor Mataram.
Suami Eliya Alwaini itu juga mengomentari terkait pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemkot Bima seperti dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hingga persidangan putusan, menurutnya tidak ada alat bukti yang ditujukan.
“Yang dituduhkan pengadaan barang dan jasa. Dan tidak ada alat bukti yang mengatakan saya melakukan itu,” tegasnya.
Eks Anggota DPR RI dari Golkar ini juga menyebut hukum masih menjadi panglima tertinggi. Hal itu dibuktikan dengan dihapusnya pasal penerimaan gratifikasi dalam Pasal 12 B Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999.
“Hanya dituduhkan satu orang dan tidak bisa dibuktikan,” sesalnya.
“Mudahan ada keadilan dan angin segar bagi bangsa dan negara,” lanjut Lutfi.
Apakah akan mengajukan banding? Mantan Ketua DPR RI itu mengaku masih masih pikir-pikir. Dia melihat proses hukum kedepannya, dan akan melakukan diskusi bersama kuasa hukumnya, Abdul Hanan terlebih dahulu.
“Kita lihat apakah banding atau tidak. Karena saya yakin dan percaya hukum menjadi panglima tertinggi,” tegasnya kembali.
Sebelumnya, Majelis Hakim diketuai Putu Gde Hariadi memvonis Muhammad Lutfi dengan 7 tahun penjara. Dia juga dijatuhkan hukuman membayar denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Saat sidang tuntutan, JPU menuntutnya 9 tahun 6 bulan penjara. Kemudian membayar denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, suami mantan Anggota DPRD RI itu juga dituntut membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp1,920 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Dia disangkakan Pasal 12 huruf i dan/atau Pasal 12B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK diwakili Agus Prasetya Raharja pun menuntut majelis hakim agar mencabut hak politik Lutfi.
“Meminta majelis hakim mencabut hak politik terdakwa,” kata JPU diwakili Agus Prasetya Raharja di ruang sidang PN Tipikor Mataram.
“Mencabut hak politik terdakwa Muhammad Lutfi hingga menyelesaikan pidana pokok,” lanjutnya.
Lutfi dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp2,15 miliar dari sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di Kota Bima tahun 2019-2022.
Kemudian, melakukan turut serta atau turut campur dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bima bersama sejumlah orang. Antara lain, istrinya Eliya Alwaini, ipar istrinya, Muhammad Makdis, dan Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima, Fahad. (KHN)