Mataram (NTBSatu) – Sebagian besar ikan hasil pengeboman terindikasi dijual di pasar-pasar. Hal itu tentu berdampak bagi kesehatan masyarakat yang membeli dan mengkonsumsinya.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Hikmah Aslinasari mengatakan, ikan hasil aktivitas pengeboman terkontaminasi dengan zat kimia detonator.
“Pertumbuhan kurang bagus, terutama di (bagian) kulit,” katanya saat konferensi pers di Mapolda NTB, Rabu, 22 Mei 2024.
Diakuinya, awal Mei lalu pihaknya bersama balai karantina pusat melakukan sidak sejumlah pasar di Pulau Sumbawa. Hasilnya, beberapa ikan yang dijual terindikasi didapat dari hasil aktivitas pengeboman.
“Ada beberapa pasar yang terindikasi menjual ikan hasil bom,” jelasnya.
Meski begitu, hasil sidak yang dilakukan belum diekspose. Dinas Kelautan dan Perikanan masih meneliti kandungan hasil laut tersebut.
Selain mempengaruhi kesehatan masyarakat pengeboman ikan juga merusak ekosistem laut, dan itu yang utama. Lebih-lebih bagi keselamatan terumbu karang.
Hikmah menyebut, terumbu karang yang sudah terkena bom membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaikinya. Karenanya Dinas Kelautan dan Perikanan bersama NJO dan akademisi sedang berupaya memulihkan terumbu karang tersebut.
“Karena memang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkan (terumbu karang),” ujarnya.
Berita Terkini:
- Anggota DPRD NTB Soroti IUP 18.500 Hektare Milik Prajogo: Tak Bermanfaat Bagi Masyarakat Lokal
- Pj. Gubernur NTB Dampingi Wamendagri Serahkan KTP untuk Siswa SMAN 1 Mataram Berumur 17 Tahun
- Pj. Gubernur Dampingi Wamendagri Bima Arya Kunjungi IPDN Kampus NTB
- Ekonomi NTB Alami Pertumbuhan dari Tahun ke Tahun
- Debat Kedua Pilgub NTB Bahas Pengembangan Potensi Daerah
Dinas Kelautan dan Perikanan mengapresiasi kinerja Dit Polairud Polda NTB karena mengamankan 23 tersangka pelaku pengeboman ikan di wilayah NTB.
“Memang kegiatan DF (destructive fishing) sangat dilarang, karena sumber daya ikan akan punah. Nanti anak cucu kita ke depannya tidak ada lagi melihat ikan di laut,” jelasnya.
Diakui Hikmah, pihaknya telah mengantongi pergub tentang satgas pengawasan perikanan nomor 523 908 tahun 2022 tentang satgas pengawasan dan penanggulangan perikanan yang merusak ikan di NTB tahun 2023-2027.
“Di dalamnya termasuk anggota seluruh stakeholder termasuk Polairud Polda NTB. Mari menjaga DF dari di NTB,” ajaknya.
Sementara Dir Polairud Polda NTB, Kombes Pol Andree Ghama Putra menambahkan, periode Januari hingga Mei 2024 pihaknya menerima 9 laporan polisi terkait aktivitas pengeboman di perairan NTB. Delapan di antaranya ditangani delapan Polairud Polda NTB. Satu perkara ditangani Polres.
Hasilnya, 23 pelaku diamankan dan dijadikan tersangka. Seluruhnya tertangkap tangan saat menjalankan kegiatannya. Sebagian besar aktivitas pengeboman ikan di Pulau Sumbawa. Sisanya di wilayah Lombok Timur.
Tak hanya itu, polisi juga mengangkut 251 detonator. 198 di antaranya sudah dimusnahkan. Barang bukti lain adalah kompresor, pupuk yang sudah diolah, botol, jeriken, perahu motor, dan lainnya.
“Itu alat-alat yang digunakan para pelaku untuk melakukan pemboman. Total seluruhnya dari itu 8 unit perahu motor. Kemudian ada 65 botol berisi pupuk,” jelasnya.
Sekali mengebom, para pelaku bisa memperoleh puluhan boks ikan. Karena satu botol peledak yang dilemparkan ke laut mencapai radius 15-20 meter. Ikan-ikan tersebut selanjutnya dijual di pasar.
Sedangkan detonator, sambung Andree, para pelaku mendapatkannya dari berbagai daerah. Hal itu terungkap berdasarkan pemeriksaan tersangka. Nah, pihak yang menjual bahan peledak tersebut yang kini tengah diburu kepolisian. Kasus ini dipastikan terus dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan akan ada penambahan tersangka.
“Kita semua sudah kita tahu siapa yang menyiapkan barang. Masih kita cari,” tegasnya.
Akibat perbuatannya, ke-23 tersangka disangkakan Pasal 85 Undang-undang nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp2 miliar.
Kemudian Pasal 12 Undang-undang darurat RI nomor 12 tahun 1951 dengan ancaman paling tinggi hukuman mati dan penjara paling lama 20 tahun. Dan terakhir Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (KHN)