Mataram (NTBSatu) – Dua pekan pasca-pengumuman kelulusan SMA sederajat di NTB, masih terlihat sejumlah siswa kelas XII melakukan konvoi dan mencoret seragam sekolah.
Padahal, tindakan ini telah dilarang oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi NTB dan masing-masing sekolah.
Bahkan, pihak Dinas Dikbud NTB telah mengeluarkan edaran dan akan menindak siswa dari sekolah tersebut, bila ditemukan melakukan konvoi dan coret seragam.
Sosiolog Universitas Mataram (Unram), Arif Nasrullah, LC., M.Hum., mengatakan, fenomena masih terjadinya aksi konvoi dan coret seragam yang dilakukan saat kelulusan merupakan bentuk selebrasi siswa dalam merayakan kelulusan.
“Karena seragam ini identik dengan mereka yang sudah bersusah payah lebih dari 12 tahun terkungkung dengan seragam putihnya. Mulai dari SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dan SMA 3 tahun,” kata Arif dihubungi NTBSatu, Senin, 20 Mei 2024.
Ketika sudah menyelesaikan masa pendidikan wajib 12 tahun itu, mereka seakan terbebas dari terkungkung itu dan merayakannya.
Berita Terkini:
- Banjir Bandang Terjang Pulau Sumbawa, Nestapa di Ujung Tahun 2024
- Penetapan NTB sebagai Tuan Rumah PON 2028 Masih Tunggu SK Kemenpora
- Kabid SMK Terjaring OTT Seret Nama Kadis Dikbud NTB
- Siswi SMAN 1 Mataram Bawa Tim Hockey Indonesia Juara Asia
- Banjir di Pulau Sumbawa, 4.850 KK Terdampak dan 316 Ekor Hewan Ternak Hanyut
“Ini berbeda dengan di luar negeri. Kalau di sana, mereka tidak punya seragam sehingga tidak ada kenangan akan seragam. Berbeda dengan Indonesia, yang punya seragam. Inilah tanda dan simbol bahwa mereka tidak terkungkung lagi dari seragam,” jelas Arif.
Sementara kalau konvoi, itu dilakukan atas kesadaran bahwa ke depan mereka tidak akan bersama lagi. Ada yang akan langsung kerja, berkuliah, dan keluar kota.
“Jadi mereka itu semua berangkat dari rasa ingin merayakan,” tambah Arif.
Meskipun begitu, Dosen Sosiologi Unram yang memiliki keahlian dalam permasalahan sosial ini menyampaikan, sudah seharusnya perayaan kelulusan dengan konvoi dan coret seragam dihilangkan. Jangan sampai menjadi tradisi dan budaya setiap kelulusan siswa.
Terlebih lagi, sekarang sudah tidak ada Ujian Nasional (UN), sehingga euforia kelulusannya bekurang. Termasuk, jadwal antara pengumuman kelulusan dengan seleksi perguruan tinggi kian mepet.
“Ini perlu sosialisasi yang terus-menerus dilakukan dari pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat,” ujar Arif.
Kalau perlu juga jika ingin menghilangkan, dari dinas dan sekolah ketika hari kelulusan meminta siswa menggunakan pakain adat.
“Agar mengurangi konvoi dan coret seragam. Nuansa perpisahan juga terasa lebih khidmat dan haru,” pungkas Arif. (JEF)