Mataram (NTBSatu) – Terdakwa Muhammad Lutfi menyebut, tuntutan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dinilai zaliman. Selain sangat tinggi, juga dalil tuntutan yang tidak mendasar.
“Tuntutan 9 tahun 6 bulan itu tuntutan yang tidak mendasar dan zalim,” kata Muhammad Lutfi melalui Kuasa Hukumnya, Abdul Hanan ditemui wartawan usai sidang di PN Tipikor Mataram, Senin, 6 Mei 2024.
Jaksa penuntut dinilai tidak konsisten dengan dakwaan yang diuraikan. Hal itu, menurut Hanan, karena pada awalnya jaksa menyebut kerugian negara sebesar Rp1,9 miliar. Sementara saat tuntutan tiba-tiba menjadi Rp2,15 miliar.
Termasuk uang sebesar Rp500 juta. Awalnya uang itu disebut untuk membeli mobil jenis Vios. Namun saat penuntutan digantikan untuk pembangunan (perbaikan) rumah dinas Lutfi.
“Itu hilang dalam tuntutan,” ujar pria berkacamata ini.
Padahal, sambung Hanan, pihaknya telah membuktikan di hadapan persidangan, bahwa uang Rp500 juta tersebut merupakan utang istri Lutfi, Eliya Alwaini kepada mantan iparnya, Muhammad Makdis untuk perbaikan rumah.
Ratusan juta itu pin telah diganti Eliya. Uang itu dianggap Hanan tidak berhubungan dengan terdakwa sekaligus mantan Wali Kota Bima tersebut.
“Kami sudah buktikan di persidangan, bahwa ada kesepakatan utang piutang, utang itu sudah diganti oleh Eliya. Dan tidak berhubungan dengan terdakwa,” tegasnya.
Berita Terkini:
- Mahasiswa STKIP Taman Siswa Bima Gelar Kegiatan Kepramukaan di Taman Kalaki
- Resmi Jadi Universitas, UNBIM Siapkan 100 Beasiswa – Gratis SPP Selama Setahun
- Fahri Hamzah Bertemu Menteri Trenggono, Bahas Penataan Tempat Tinggal Nelayan
- Ternyata Segini Gaji Paus Leo XIV yang Baru Terpilih Gantikan Paus Fransiskus
- iPhone Makin Canggih! iOS 19 Hadir Bulan Depan dengan 3 Fitur Baru
Lagi-lagi Hanan menyebut bahwa tuntutan yang dilayangkan JPU tidak konsisten dan mendasar. Tuntutan tersebut dianggap copy-paste dalam Badan Berita Acara (BAP). Pembacaan tuntutan tidak berdasarkan fakta persidangan.
“Banyak fakta persidangan di yang tidak diungkapkan,” ucapnya.
Dia kembali mempertanyakan daftar list proyek yang ditandatangani Lutfi. Pasalnya sejak dakwaan hingga tuntutan, bukti fisik daftar list tersebut tidak diperhatikan di hadapan persidangan.
Sementara JPU diwaliki Agus Prasetya Raharja menyebut, tuntutan itu berdasarkan beberapa keterangan saksi dan fakta persidangan.
“Sering sekali kita (ke saksi) ‘ini benar keterangan?’ iya benar. Tidak semua copy paste,” tepisnya.
Diketahui, Lutfi dituntut membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp1,92 miliar. Nah, uang Rp500 juta masuk kedalam UP tersebut.
Sebelumnya, Muhammad Lutfi dituntut 9 tahun 6 penjara. Kemudian Kemudian membayar denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Wali Kota Bima periode 2018-2023 itu juga dituntut dicabut hak politiknya hingga menyelesaikan hukuman pidana pokok.
Pencabutan hak politik itu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf D UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta di dalam putusan Mahkamah Konstitusi selaku penafsir konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pencabutan hak politik diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk hukuman tambahan yang dikenakan kepada terpidana tindak pidana korupsi.
Lutfi dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp2,15 miliar dari sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di Kota Bima tahun 2019-2022.
Kemudian, melakukan turut serta atau turut campur dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bima bersama sejumlah orang. Antara lain, istrinya Eliya Alwaini, ipar istrinya, Muhammad Makdis, dan Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima, Fahad.
Lutfi dinilai melanggar Pasal 12 huruf i dan/atau Pasal 12B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. (KHN)