Opini

Menghindari Pendangkalan Makna Pilkada

Oleh: Jannus TH Siahaan (Doktor Sosiologi)

Gaung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 sudah membahana. Bulan-bulan jelang November 2024 mendatang akan menjadi saksi betapa keriuhan Pilkada berpindah ke Jakarta sejenak gegara batas waktu penetapan calon kepala daerah dari Partai-Partai Politik biasanya hanya beberapa minggu jelang Pilkada.

Terang saja, para calon kepala daerah ibarat berpacu dengan waktu. Bolak-balik ke Jakarta untuk memastikan surat rekomendasi Partai Politik dan memuluskan keputusan apakah akan berkoalisi dengan Partai A atau Partai B.

Bagi DPP Partai Politik yang usil, dalam rentang waktu yang menegangkan tersebut, ada saja alasannya untuk tidak berada di Jakarta. Beberapa alasan umum yang digunakan, lagi umroh lah, lagi di luar Jakarta urusan keluarga lah, lagi di luar negeri lah, dan bla bla bla lainnya.

Lucu memang kondisinya nanti jika saya bayangkan. Para calon kepala daerah (Cakada) mengaktivasi semua jaringan untuk menembus DPP-DPP Partai Politik yang belum secara formal mengeluarkan surat rekomendasi. Telpon sana sini, dekati si anu dan si anu, semuanya tak lain adalah untuk bisa sedekat mungkin dengan para pihak yang terkait langsung dengan penerbitan surat rekomendasi Partai.

Tapi ya itulah dinamikanya. Memang politik adalah tentang seni dari segala kemungkinan. Oleh karena itu, utak atik aksi dan pendekatan, utak atik isu dan rumor, utak atik gaya dan sikap, memang sangat diperlukan. Boleh jadi tujuan jangka pendeknya hanyalah soal surat rekomendasi dan ikut kontestasi.

Tapi tak salah juga jika tetap diingatkan bahwa ada tujuan jangka panjang dan tujuan mulia yang harus mereka kejar, yakni membangun daerahnya masing-masing dengan itikad yang lurus. Jika niat itu absen, maka kosonglah sudah tujuan Pilkada serentak itu. Semua usaha akan mendadak absurd jika Pilkada tidak terkait dengan hajat hidup rakyat daerah ke depan.

Saya kira, perlu ada sebuah kesepakatan bersama di antara semua stakeholder Pilkada. Kesepakatan tersebut terkait dengan komitmen untuk membangun daerah secara lurus, bersih, dan kreatif melalui mekanisme Pilkada.

Dengan kata lain, sangat krusial menjadikan instrumen Pilkada untuk menekan calon-calon agar bersaing dengan mengadu ide dan pemikiran tentang upaya-upaya membangun daerah yang baik, bukan mengadu identitas dan kesombongan personal.

Pasalnya, Pilkada adalah momen strategis. Sehingga jangan sampai mendangkalkan maknanya. Jangan mengartikan momen strategis sebagai momen politik menjelang Pemilihan Presiden 2029 yang masih jauh. Terlalu naif jika maknanya hanya disetir senaif itu.

Berita Terkini:

Karena akan berisiko dan berbuah pahit jika Pilkada dimaknai dengan perspektif recehan. Risikonya terlalu mahal. Potensi konflik dan jual beli isu rendahan akan terjadi, yang kemudian justru membawa daerah ke zona kemunduran.

Pendangkalan makna akan melahirkan persepsi bahwa pemenangan Pilkada adalah soal politik praktis semata. Pilkada akan berakhir sebagai sekrup-sekrup elitis sentralistis, yakni untuk memenangkan calon-calon presiden di tahun 2029 nanti.

Walhasil, gontok-gontokan tak berkonteks, konflik-konflik tak beraturan, dan liak-liuk isu akan menggelinding sesuai pesanan, sekalipun tanpa landasan moralitas dan etika yang kuat. Semuanya akan dilangsungkan demi tujuan politik dangkal tadi.

Lantas yang berbicara nasib rakyat daerah ke depan siapa?
Di sinilah signifikansi berbicara Pilkada dalam kacamata masa depan rakyat daerah. Karena Pilkada serentak akan menyangkut nasib puluhan juta rakyat di berbagai daerah.

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada sekitar 180an juta penduduk akan terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sebuah angka yang cukup tinggi, bukan? Angka tersebut terbilang hampir mencapai 80% dari total pemilih nasional.

Sebagai perbandingan, pada pilkada serentak 2015 yang diikuti 269 daerah, jumlah pemilihnya sebanyak 96 juta orang. Sedangkan pada pilkada serentak 2017 kemarin yang dihelat di 101 daerah, jumlah pemilih yang terlibat hanya 41 juta pemilih saja.

Tak hanya itu, dari sisi anggaran juga cukup fantastis karena mencapai puluhan triliun. Ini jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan anggaran untuk pilkada serentak pada tahun 2015 yang mencapai Rp 7,1 triliun, atau pilkada serentak tahun 2017 yang hanya Rp 4,2 triliun.

Jadi wajar bila kemudian banyak yang menyebut pilkada serentak 2018 adalah parameter utama peta politik menuju pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019 dan Pilkada serentak 2024 adalah parameter Pemilihan Presiden 2029. Tapi jangan didangkalkan bahwa tujuan nya adalah untuk Pilpres semata.

Karena Pilkada adalah untuk daerah selama lima tahun ke depan.
Memang betul, dalam kalkulasi politik praktis, dengan lumbung suara yang berlimpah seperti itu, kemenangan dalam hajatan demokrasi 2024 merupakan satu langkah menuju kemenangan pada Pilpres 2029. Dan wajar pula jika seluruh partai politik terlihat memaksimalkan segala mesin politik dan menggunakan segala strategi terbaiknya untuk memenangi pertempuran pilkada.

1 2Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button