Mataram (NTBSatu) – Upaya Pemerintah Provinsi NTB dalam menurunkan angka perkawinan anak melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dinilai belum efektif.
Hal ini terungkap dalam Kajian Audit Sosial Implementasi Perda 5/2021 Perkawinan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah NTB bersama Perludem.
Kajian tersebut menemukan beberapa faktor yang menyebabkan Perda tersebut belum efektif, seperti kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah maupun organisasi non-pemerintah (NGO).
Ketua Koalisi Perempuan Indonesia Dian Aryani mengatakan, masih kuatnya stigma di masyarakat terkait perkawinan anak, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat.
“Aturan terkait perkawinan adat istiadat tidak ada tertera sanksi yang tegas dalam Perda,” katanya.
Selain itu, alokasi anggaran untuk pencegahan perkawinan anak dihapuskan, dan belum disosialisasikannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada masyarakat.
Berita Terkini:
- Anggota DPRD NTB Soroti IUP 18.500 Hektare Milik Prajogo: Tak Bermanfaat Bagi Masyarakat Lokal
- Pj. Gubernur NTB Dampingi Wamendagri Serahkan KTP untuk Siswa SMAN 1 Mataram Berumur 17 Tahun
- Pj. Gubernur Dampingi Wamendagri Bima Arya Kunjungi IPDN Kampus NTB
- Ekonomi NTB Alami Pertumbuhan dari Tahun ke Tahun
- Debat Kedua Pilgub NTB Bahas Pengembangan Potensi Daerah
“Meskipun Perda Nomor 5 Tahun 2021 telah melahirkan beberapa regulasi turunan, seperti Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026, tapi hal tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi permasalahan perkawinan anak di NTB,” jelasnya.
Dian merekomendasikan beberapa langkah penguatan, dengan memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan.
“Masif melakukan sosialisasi UU TPKS kepada masyarakat, memberikan sanksi tegas bagi pelanggar Perda dan memperkuat alokasi anggaran untuk pencegahan perkawinan anak,” saran Dian.
Perkawinan anak di NTB masih menjadi permasalahan serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih serius dari semua pihak.
Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. (WIL)