“Dia (pendidik) akan memberi kami buku-buku. Kami akan pergi ke sana (kelas) dan melihat siapa yang datang dan pergi; kami (juga) akan berdiri di gerbang sekolah. Kami (merasa) hidup,” kenang siswa berusia 10 tahun tersebut.
Kini, ia hanya bisa melihat bangunan yang penuh peluru. Kertas-kertas berserakan di ruang kelas yang hancur, dengan poster robek dari dinding dan buku-buku rusak
Kenangan akan pendidikan juga datang dari seorang guru di Palestina bernama Muhammad al-Khudari. Dirinya mengenang sambil duduk di atas puing-puing dan menulis di selembar kertas.
Ia juga merefleksikan reruntuhan sistem pendidikan dalam skala luas, di semua tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga universitas.
“Kami menyerukan kepada semua orang untuk memperhatikan proses pendidikan (di Gaza), dan mengembalikan pendidikan seperti sebelum perang,” kata al-Khudari, dikutip dari Reuters.
Berita Terkini:
- MDMC Gelar Program “Karang Tangguh” di NTB, Upaya Tekan Risiko Dampak Bencana
- Debat Baru Mulai, Calon Wali Kota Bima Nomor Urut 3 Tinggalkan Podium
- Senator Evi Apita Maya Tegaskan Dukung Zul-Uhel di Pilgub NTB 2024
- SMKPP Negeri Bima akan Teruskan Pertanian Berkelanjutan
Meski begitu, beberapa siswa seperti Muhammad al-Fajem, tidak putus asa. Ia akan terus belajar, bagaimanapun kondisinya.
“Kami akan mendirikan tenda dan kami akan belajar di tenda. Berapapun biayanya, kami akan belajar di sana. Ini adalah ruang kelas kami,” ujarnya.
“Lihat ruangan kepala sekolah. Dia biasa membawakan kami buku dan permen. Dia akan memberi kami segalanya. Dia akan memberi kita mainan,” tutur al-Fajem. (JEF)