Kasus kedua terjadi di salah satu Ponpes Kecamatan Pringgabaya dengan terdakwa inisial SH. Modusnya pun serupa. Dia menyetubuhi santrinya sendiri.
Kedua kasus tersebut melakukan upaya hukum banding dan kasasi. Meski begitu, Yan percaya bahwa hakim yang mengadili perkara tersebut akan memperkuat pengadilan tingkat pertama.
“Kami LKBH FH UMMAT meyakini hakim yang mengadilinya nanti tetap akan memperkuat putusan pengadilan tingkatan sebelumnya,” ungkapnya.
Awal tahun 2023, ada sembilan pelecehan seksual terjadi lingkungan Ponpes di Provinsi NTB. Empat di antaranya telah diputus pengadilan dengan vonis pidana penjara terendah lima tahun sampai 17 tahun.
Tindak pidana kekerasan seksual bukan hal sepele. Terutama bagi korban. Ketika harkat dan martabatnya sebagai perempuan dilecehkan secara seksual, korban jelas mengalami trauma dan berpengaruh buruk terhadap kehidupannya.
Berita Terkini:
- Terdakwa Pembunuhan Istri di Lombok Timur Dituntut Hukuman Mati
- Kadis Aidy Furqan Kembali Dipanggil Polisi Dugaan Pungli DAK Dikbud NTB
- Anies Jenguk Tom Lembong di Tahanan, Bawakan Oleh-oleh Buku
- Korban Pelecehan Seksual di Lombok Tengah Nyaris “Diculik” Mobil Pelaku saat Akan Diperiksa Polisi
“Hukum harus ditegakkan agar jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan kondisi rentan seperti kepolosan para santri yang masih usia anak,” pintanya.
Karenanya, peran Kementerian Agama di provinsi dan kabupaten kota harus memberikan atensi penuh terhadap persoalan ini. Apalagi santri dan santriwati saat berada di pondok pesantren, mereka berada jauh dari pengawasan orang tua.
Dia berharap, santri Ponpes maupun keluarga korban melaporkan kejadian yang dialaminya.
“Bukan menganggap ini sebagai aib kemudian mendiamkannya, karena kalau dibiarkan, akan ada lebih banyak korban lagi,” tutupnya. (KHN)