“Tapi ketika itu para pembudidaya rumput laut di sana mengaku tidak enak kepada orang yang memberikan pinjaman, termasuk juga memberikan mereka bantuan alat seperti tali untuk longline dan bantuan perahu,” ujar Supiandi.
Padahal alasan para investor ini berani untuk berinvestasi di Pulau Lombok, jelasnya, karena mendapat jaminan ketersediaan bahan baku dan mudah mengontrol kualitasnya.
“Dengan proses hilirisasi ini juga sebenarnya, akan semakin banyak perputaran uang dari rumput laut di Lombok. Jika sebelumnya mengirim dalam bentuk kering, bahkan kadang menjual dalam kondisi basah, kini sudah mengirim dalam bentuk setengah jadi hingga ke luar Lombok,” tambah Supiandi.
Pria yang mendalami studi ekonomi maritim ini pun menyarankan, agar pemerintah aktif mendampingi pembudidaya rumput laut. Sehingga bisa lebih mandiri dan tidak terjerat sistem ijon.
“Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) harus benar-benar menyasar petani rumput laut yang membutuhkan. Begitu juga bantuan peralatan, harus disesuaikan dengan kebutuhan,” ungkap Supiandi.
Berita Terkini:
- Perketat Pengawasan Jelang Nataru, Satpol PP Mataram Gelar Razia Kembang Api dan Petasan
- Anggaran Fiskal NTB 2024: Inflasi Rp564 Miliar Inflasi, Kemiskinan Rp341 Miliar, dan Stunting Rp47 Miliar
- Jaksa Teliti Berkas Perkara Tersangka Agus
- Pemprov NTB Kembali Pulangkan 5 WNI Asal NTB Terdampak Perang Suriah
Ketika semua peralatan terpenuhi dan modal berasal dari KUR, maka para petani rumput laut memiliki nilai tawar ke pembeli.
“Kami masuk ke beberapa kelompok, tapi memang Seriwe itu menjadi PR kami. Sistem ijon sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan seperti menurun ke anak cucu,’’ tutur Supiandi. (JEF)