Mataram (NTBSatu) – Melalui siaran langsung pada kanal YouTube resminya, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Tasdik Kinanto menyampaikan, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, terdapat 183 temuan ASN yang terbukti melakukan praktik pelanggaran netralitas.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 97 ASN telah mendapatkan sanksi dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
“Temuan tersebut berawal dari adanya 403 laporan terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN,” kata Tasdik dalam webinar yang disiarkan oleh kanal Youtube KASN RI pada Selasa, 6 Februari 2024.
Tasdik melihat, data pelanggaran netralitas saat ini mengalami anomali. Karena, jumlah ASN yang terbukti melanggar netralitas saat ini lebih sedikit dibandingkan Pilkada serentak 2020 lalu.
Pada momen Pilkada tahun 2020 lalu, KASN mendapati ada 1.597 ASN terbukti melanggar prinsip netralitas dan 1.450 telah mendapatkan sanksi dari PPPK
Berita Terkini:
- Wamen HAM Paparkan 4 Tahapan Menuju Indonesia Emas Berdasarkan Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Kabid SMK Bongkar Dugaan Keterlibatan Kadis Dikbud NTB Terkait OTT Proyek DAK
- Molor, Perbaikan Jalan Terong Tawah Lombok Barat Dimulai Maret
- Ekuitas Terpenuhi, Komisi III DPRD Lobi OJK Tahan SP3 PT Jamkrida NTB Syariah
“Ketetapan tersebut berawal dari pengusutan 2.034 laporan terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN,” ujar Tasdik.
Padahal, kata dia, netralitas ASN saat ini patut disoroti. Karena melihat pelanggaran ASN pada Pemilu kali ini juga terjadi secara sistematik.
“Apakah ada pihak yang tutup mata atau menyembunyikan laporan-laporan pelanggaran yang terjadi,” bebernya.
Dia menyampaikan, ada sejumlah fakta-fakta pelanggaran yang berpotensi merusak netralitas ASN. Beberapa di antaranya penggunaan sumber daya birokrasi, rekayasa regulasi dan mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM).
Selain itu, kemungkinan pelanggaran netralitas ASN kian terbuka lewat praktik-praktik seperti alokasi dukungan anggaran, bantuan program dan penggunaan fasilitas sarana dan prasarana (sarpras) untuk mendukung sekaligus memberikan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon (paslon) tertentu.
“Kondisi ini sangat mungkin dimanfaatkan sebagai sumberdaya birokrasi di lembaganya masing-masing,” tutupnya. (MYM)