Mataram (NTBSatu) – Pengembangan desa di Lombok sebagai tujuan wisata dinilai belum maksimal.
Menurut Pengamat Pariwisata yang juga Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, Dr. I Putu Gede, M.Par., pengembangannya saat ini hanya untuk mendapatkan penghargaan. Salah satunya, Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
“Desa sebagai tujuan wisata atau desa wisata, menjadi potensi untuk dikembangkan di Lombok. Tetapi, ini belum digarap dengan baik karena euforianya hanya sekadar untuk mendapat penghargaan saja,” ungkapnya kepada NTBSatu, Jumat, 26 Januari 2024.
Putu mengatakan seperti itu, karena berdasarkan pengamatannya banyak desa yang dipaksakan untuk menjadi desa wisata di Lombok ini. Padahal, secara potensinya bukan diperuntukkan untuk desa wisata.
“Jadi para desa sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan penghargaan sebagai desa wisata, dengan mengucurkan dana yang tidak sedikit. Lalu, setelah dapat penghargaan tidak ada hasil lain. Mereka hanya mendapat penghargaan dan dana pembinaan dari kementerian,” jelasnya.
Dana pembinaan itu pun, lanjut Putu, belum tentu akan berdampak bagi masyarakatnya. “Seperti contohnya Taman Loang Baloq yang mendapat ADWI dalam kategori suvenir terbaik. Nah apa manfaat dan dampak yang diberikan bagi masyarakat di sana setelah meraih penghargaan itu? Tidak ada,” tambahnya.
Pria bergelar Doktor Desa Wisata ini berharap, ke depan agar pengembangan desa wisata di Lombok berdasarkan potensi masing-masing desa. Bukanya hanya dilihat dari permukaan saja.
Baca Juga: Pemprov NTB akan Siapkan 1.000 Guru Bahasa Inggris pada Maret 2024, Berikut Teknis Pengadaannya
“Kalau dari permukaan, semua desa itu indah dan bagus. Tetapi mengembangkannya menjadi desa wisata, harus digali dari potensi dasar desa tersebut dengan memenuhi tiga kriteria. Ada uniknya, otentik, dan jarak tempuh,” ujar Putu.
Ketiga kriteria ini harus terpenuhi dahulu, baru bisa merencanakan pengembangan desa tersebut sebagai tujuan wisata.
“Jadi bukan sekadar mau jadi desa wisata, kemudian langsung membangun begitu. Karena jika seperti itu, maka tidak bisa berkelanjutan,” tambah Putu.
Diakuinya juga, kalau pembangunan desa wisata saat ini masih belum merata. Sebab, mayoritas hanya menyasar desa yang berada di daerah pegunungan dan dataran saja. Sementara, desa yang berada di pesisir kurang diperhatikan.
“Tidak bisa hanya pegunungan dan dataran saja, karena pesisir kita juga sebenarnya kuat, apalagi merupakan negara maritim. Itu yang belum diperkuat,” terangnya.
Pengembangan desa wisata dari ketiga basis desa itu pun, tutur Putu, tidak bisa disamaratakan semuanya.
“Yang di pegunungan, basis pengembangannya menjadi ecotourism, terkait dengan kelestarian lingkungan. Kalau dataran, basisnya lebih kepada mengembangkan agrowisata, karena banyak pertanian dan perkebunan. Pesisir juga begitu, basisnya maritim atau bahari,” tutupnya. (JEF)