Mataram (NTBSatu) – Kuasa Hukum Pemohon Partai Demokrat NTB, D.A Malik SH, MH ingatkan KPU NTB, agar tidak salah tafsir terkait frasa ‘tindak pidana lainnya’. Sebab frasa ini yang menjadi dasar mencoret Azhar, Caleg Demokrat dari Daftar Calon Tetap (DCT).
Padahal, menurutnya, frasa tersebut tidak termasuk dalam kategori perbuatan yang dilakukan oleh Caleg Azhar. Ditambah dengan putusan MA yang hanya memutus Azhar dengan hukuman percobaan. Artinya, tidak masuk dalam tindak pidana lainnya yang menjadi dasar KPU mencoret dari DCT.
“Atas dasar ini, karena ada hak konstitusional, menurut partai Demokrat dirugikan terhadap surat keputusan KPU itu, sehingga itu dasar kami untuk ajukan permohonan, khususnya pada frasa ‘tindak pidana lainnya’, tentu ditafsir sesuai dengan mekanisme penafsiran yang benar,” ujarnya Kamis, 11 Januari 2024.
Lebih lanjut, ia menjelaskan DCT yang bisa dicoret yakni jika ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, dan melakukan tindak pidana yang berulang-ulang, serta tindak pidana yang ada unsur kesengajaan di dalamnya. Termasuk tindak pidana yang terdapat pada UU nomor 7 tahun 2017 ada sekitar 58 corak jenis tindak pidana.
Sementara untuk kliennya, Azhar, tidak termasuk dalam kategori tersebut. Bahkan hukumannya hanya percobaan dan tidak dipenjara. Serta lebih detail mengenai dakwaan atas kasus pengerusakan, ancaman hukumannya 2 tahun 8 bulan atau di bawah lima tahun. Menurutnya, sekalipun diputuskan hukuman 2 tahun 8 bulan tersebut, juga belum bisa dilakukan pencoretan terhadap Caleg tersebut.
Berita Terkini:
- Debat Baru Mulai, Calon Wali Kota Bima Nomor Urut 3 Tinggalkan Podium
- Senator Evi Apita Maya Tegaskan Dukung Zul-Uhel di Pilgub NTB 2024
- SMKPP Negeri Bima akan Teruskan Pertanian Berkelanjutan
- Bahlil Umumkan Kepengurusan DPP Partai Golkar, Berikut Daftarnya
“Inilah yang menjadi perdebatan sebenarnya, KPU menafsirkan bahwa tindak pidana lainnya itu segala bentuk tindak pidana, termasuk yang tertuang di dalam pasal 10 KUHP Pidana,” ucapnya.
“Tetapi bagi kami ini beda, kalau ditafsir semacam itu menurut putusan MK tahun 2022 itu tidak bisa ditafsir secara liar, karena akan menyebabkan ketidakpastian hukum,” sambungnya.
Untuk itulah pihak pemohon mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak konstitusionalnya.
“Inilah yang menjadi alasan-alasan hukum bagi kami selaku kuasa hukum pemohon untuk mengajukan permohonan,” tandasnya.