Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) cukup berani deklarasi sebagai daerah yang agresif mengambil peran dalam transisi energi. Sebuah ambisi menuju Net Zero Emission (NZE) 2050 yang lebih maju 10 tahun dari target nasional 2060. Bukan mustahil, peta jalan itu kini dirintis oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui kolaborasi Co-Firing System sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT).
Penulis : Haris Mahtul
Melintas melewati terowongan sepanjang 8 kilometer di dasar laut sebagai penghubung Swedia dan Denmark, tibalah para delegasi NTB di Bornholm, Tanggal 3 Oktober 2022. Bornholm adalah sebuah pulau di Laut Baltik, di sebelah selatan Swedia, timur laut Jerman dan utara Polandia.
Pulau ini juga dikenal dengan sebutan Sunshine Island, dikeliling formasi batuan dan pantai berpasir dibagian selatan dan ditengah adalah pertanian.
Posisinya yang berada di Laut Baltik, yang dapat diakses dari berbagai negara menjadikan Bornholm ini strategis. Pulau sebesar Bornholm ini memiliki banyak pembangkit listrik dengan berbagai sumber energinya – sebagian besar energi hijau.
Dua pembangkit listrik Biomass dengan kapasitas 50 ribu MWh dan 25 ribu MWh (megawatt hours). Di luar itu, ada dua pembangkit dengan bahan baku jerami kapasitas 57 ribu MWh dan 17 ribu MWh.
“Bahan bakunya menggunakan cacahan kayu atau biomass dan jerami dengan sumber bahan baku dari beberapa negara Eropa lainnya selain dari Bornholm,” kata Wakil Gubernur NTB, Hj. Sitti Rohmi Djalillah belum lama ini, menuturkan rangkaian study trip green energy ke Denmark.
Studi itu berlangsung sejak Tanggal 3 sampai 9 Oktober 2022 lalu tersebut, diikuti Pemprov NTB di bawah payung program Sustainable Island Inisiative (SII) Denmark.
Sepanjang pengamatannya di pulau itu, pembangkit listrik tenaga angin (wind turbine), menjadi pemandangan umum di Denmark. Di Pulau Bornholm saja memiliki 2 unit tenaga angin, baik skala besar (96 ribu MWh) dan skala kecil (1.000 MWh). Memiliki waste incinerator, dimana sampah menjadi pembangkit listrik dengan kapasitas 48 ribu MWh.
Delegasi NTB mendapat presentasi ketika mengunjungi insinerator sampah yang di kelola BOFA, yakni dari kantor wali kota terkait dengan Energy Perspective Island, Bornholm. Presentasi dan diskusi dilakukan di visitor room objek wisata Hammershus Kastil. Data yang disampaikan tahun 2009 Bornholm telah bebas energi fosil sebanyak 35 persen, akan tetapi tahun 2020 kota ini sudah bebas energi fosil sebanyak 86 persen. Terjadi kenaikan penggunaan energi hijau sebanyak 51 persen.
Tak mau kalah, Delegasi NTB yang dipimpin Wakil Gubernur Hj. Sitti Rohmi Djalillah pada kesempatan itu mempresentasikan ambisi daerah NTB menurunkan emisi melalui program unggulan Pemprov NTB “NTB Hijau”, melalui beberapa langkah dan dukungan program unggulan lainnya seperti Zero Waste.
Kembali ke Denmark, dengan berkembangnya energi yang dihasilkan oleh Denmark ini menandakan surplus energi listrik, sehingga pemerintah setempat menjual energi hijau ke beberapa negara di sekitar Laut Baltik.
Ke depan pemerintah Denmark telah memiliki roadmap Baltic Energy Island dengan mendorong Pulau Bornholm menjadi pusat energi hijau di Laut Baltik, Green Energy Hub di Laut Baltic dan Pulau Bornholm solusi bagi energi hijau.
“Upaya mereka ini sudah mulai dilakukan sekitar 30 tahun lalu bahkan ada beberapa jenis energi yang lebih lama,” jelas mantan Ketua DPW Nasdem NTB ini.
Apa Kesamaan dengan NTB?
Apa yang sedang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dalam mendorong NTB Net Zero Emisi 2050 hampir sama dengan apa yang telah dilalukan Bornholm Denmark ini. Sebagai catatan, Denmark telah lebih awal mendorong Zero Waste dengan membangun incenerator sampah 1989 sebagai sumber energi. Biomass dan energi angin menjadi pilihan sebagai upaya mengoptimalkan sumber daya alam.
Sementara NTB, melalui “Visi NTB Asri Lestari”, menjadi payung kebijakan dan program unggulan NTB Zero Waste. Jika di Denmark waste incenarator-nya menjadi sumber energi di NTB telah ada incenarator untuk limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya), masih dalam satu spirit yang sama. Demikian juga dengan biomass.
Komitmen NTB dalam mewujudkan Net Zero Emission (Nol Emisi Karbon) di tahun 2050 sudah berada pada trek yang benar, bahkan lebih maju dari target Indonesia Net Zero Emission 2060.
“Artinya Provinsi NTB kini telah memulai satu langkah pertama menuju perjalanan panjangnya,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Julmansyah.
Apalagi, bauran energi NTB saat ini meski baru 19 persen namun sudah di atas rata-rata nasional. Jika dibandingkan di Pulau Samso Denmark yang sudah 70 persen, running well sejak 25 tahun lalu.
“Artinya upaya Pemprov NTB untuk mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sudah on the track. Apalagi PLN telah mulai cofiring di dua PLTU, yakni PLTU Jeranjang dan PLTU Kertasari KSB,” kata Julmansyah di Mataram, Kamis 15 Desember 2022.
Pemprov NTB dengan PLN Wilayah sedang mendorong sumber biomass sebagai bahan baku energi melalui payung “NTB Hijau”, untuk cofiring PLTU Jeranjang dan PLTU Tambora Kertasati KSB. Meski akan banyak tantangan regulasi pemerintah pusat, ikhtiar ini menurutnya tetap harus didorong. Demikian juga dengan energi angin, melalui sektor swasta sedang proses deal dengan PLN untuk pembangunan wind turbin di sekaroh Lombok Timur.
“Membandingkan dua hal tersebut, maka NTB sesungguhnya on the track untuk mendorong energi hijau dan bersih di NTB. Energi hijau sebagai energi masa depan. Kita harus siap jika kita tidak menyiapkan diri dari sekarang, dengan membangun fondasi energi hijau, maka kita akan tertinggal dan terlindas,” tutup Julmansyah.
100 Persen Biomas di PLTU
Infografis kebutuhan biomass untuk transisi energi PLTU Jeranjang dan PLTU Sumbawa Barat.
Bicara isu transisi energi, maka PLN adalah stakeholders paling depan dengan penerapan kebijakan strategisnya. Transisi energi bagi General Manager PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTB, Sudjarwo adalah keharusan di tengah tantangan kebijakan global soal green energy.
“Terlebih Pemerintah Provinsi NTB memiliki target Net Zero Emission di tahun 2050, 10 tahun lebih cepat daripada target pemerintah pusat,” kata Sudjarwo kepada ntbsatu.com, Kamis 15 Desember 2022.
Karena itu, sistem yang paling mungkin saat ini adalah penggunaan biomassa dalam proses Co-Firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai pengganti batu bara yang sudah diterapkan bertahap pembangkit Jeranjang Lombok Barat.
Paling menggembirakan adalah penerapan 100 persen Co-Firing di PLTU Kertasari Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).
Menuju proses 100 persen biomas ini, langkah awal setidaknya dengan mengoperasikan Refused Derived Fuel (RDF) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kebon Kongok.
Kapasitas produksi RDF atau Solid Recovered Fuel (SRF) ini memang baru 0,1 ton per hari. Namun diharapkan pada Maret 2023 mendatang, produksinya bisa mencapai 15 ton per hari.
“Adapun untuk kebutuhan Co-Firing 5 persen di PLTU Jeranjang sebesar 82.5 ton per hari untuk 3 unit pembangkit,” sebut Sudjarwo.
Selain SRF, jenis biomassa yang digunakan di PLTU Jeranjang selama ini adalah serbuk kayu 10 ton per hari dan sekam Padi 20 ton per hari. “Untuk tahun depan sedang dilakukan penjajakan untuk jenis biomassa woodchip dari hutan industri,” kata Sudjarwo.
Nah, berbicara Co-Firing, aktualisasi total adalah PLTU Kertasari dan PLTU Tambora, Kabupaten Sumbawa Barat. Di tempat ini, transisi energi sudah berlalu karena sudah masuk fase total energi terbarukan. Bahkan ini diklaim sebagai proyek prestisius karena satu satunya yang sukses menjalankan Co-Firing Enegery secara total.
Manager PLN Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Tambora, Wayan Budi Laksana menuturkan PLTU Sumbawa Barat adalah pembangkit dengan sistem kelistrikan di NTB yang menerapkan total Co-Firing. PLTU berkapasitas 2×7 MW ini memanfaatkan limbah domestik yaitu bonggol Jagung yang telah diolah sedemikian rupa untuk dijadikan bahan bakar alternatif guna peningkatan kualitas produksi listrik dan rantai pasok energi primer pada PLTU.
“PLN saat ini berfokus dalam transisi energi melalui peningkatan bauran energi baru terbarukan. Apalagi, Sumbawa dikenal sebagai penghasil jagung yang melimpah untuk komoditas pertaniannya,” ujar Wayan.
Proses Co-Firing menggunakan biomassa bonggol jagung dilakukan secara continue sejak bulan Mei 2022 sampai dengan saat ini dengan persentase campuran biomassa yang terus meningkat.
Dengan melakukan Co-Firing menggunakan bonggol Jagung, PLTU Sumbawa Barat dapat memproduksi energi listrik sebesar 300 MWh yang disalurkan ke pelanggan di Pulau Sumbawa.
Proses Co-Firing bertahap. Awalnya sebesar 3 persen sebagai percobaan. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 persen, naik lagi jadi 25 persen, hingga 50 persen dari kebutuhan bahan bakar sudah dilakukan sejak bulan Mei 2022 di PLTU Sumbawa.
“Hingga saat ini, kami melaksanakan performance test dengan bahan baku 100 persen bonggol Jagung,” tambahnya.
Hal yang menggembirakan, penggunaan biomassa ini terbukti mampu menghemat biaya dan penyediaan pasokan biomassa untuk Co-Firing juga didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa, stakeholder dengan memberdayakan supali biomassa dari para petani di Pulau Sumbawa sehingga kontinuitas Co-Firing dapat terus berjalan.
Menariknya, selama Mei – Agustus 2022, PLTU Sumbawa telah menggunakan 1.196,85 ton atau 5 persen biomassa dan berhasil menekan biaya hingga Rp316 Juta.
“Ke depannya, kami akan terus meningkatkan biomassa dalam proses Co-Firing. Tidak hanya menggunakan bonggol jagung, PLTU Sumbawa juga akan menggunakan potensi biomassa yang lain seperti woodchip pohon Kaliandra, pohon Gamal, dan pohon Lamtoro,” pungkas Wayan.
Konkretkan dengan Kerjasama
Kolaborasi PLN dengan Pemprov NTB tak sebatas wacana dan capaian yang sudah ada. Demi konkretkan kolaborasi mewujudkan komitmen Net Zero Emission atau Nol Emisi Karbon tahun 2050, PLN dan Pemprov NTB Selasa 27 Desember 2022 teken kerjasama.
Penandatanganan kerjasama itu langsung dibubuhkan GM PLN UIW NTB, Sudjarwo dan Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah.
“Kerjasama ini menegaskan bahwa, hari ini menjadi momentum milestone yang luar biasa, karena kita ingin menjadi provinsi NTB mengaplikasikan Green Tourism , Green Energy, dan Green Industry,” kata Gubernur NTB saat sambutan.
Dalam kerjasama itu, dukungan nyata diberikan PLN mulai dari sisi hulu, yakni penyediaan suplai pembangkit dan dari sisi hilir yakni pemanfaatan kelistrikan oleh masyarakat.
Salah satunya melalui pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan pengembangan Energi Baru Terbarukan dengan menggunakan biomassa dalam proses Co-Firing di PLTU.
“Saya senang sekali bermitra dengan PLN karena perjalanan panjang dengan langkah pertama ini sudah kita lakukan. Luar biasa! Where there is a will, there is a way. Saya optimis kerja sama ini akan menjadi boosting confidence untuk kita semua di Nusa Tenggara Barat,” ujar Dr. Zul.
Sudjarwo pun menegaskan komitmennya di hadapan Gubernur NTB untuk terus mewujudkan NZE tahun 2050. Dalam mengembangkan EBT dan menjalankan agenda transisi energi, PLN memang membuka peluang kerja sama dengan semua pihak.
Di daerah NTB, terdapat total daya 41 MW yang sudah merupakan pembangkit energi bersih. Program Net Zero Emission diyakini akan bisa diwujudkan apabila dilakukan transisi dari pembangkit batu bara menjadi pembangkit biomassa.
“Potensi biomassa di NTB ini cukup besar, itu sebabnya kami juga membutuhkan dukungan pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan transisi energi dari batu bara menjadi biomassa”, jelas Sudjarwo.
Sebagai informasi, kolaborasi kedua pihak sudah terlihat. Gubernur NTB meluncurkan ekosistem kendaraan listrik di NTB pada bulan Februari 2021, kemudian dilanjutkan peresmian SPKLU pertama kali oleh Wakil Gubernur NTB, Dr Sitti Rohmi Djalillah di kantor PLN UP3 Mataram pada Januari 2022.
Tidak berhenti sampai di sana, hingga saat ini, PLN NTB telah membangun lima unit SPKLU yaitu di Kantor Gubernur NTB, Kantor Dinas Perhubungan Prov NTB, Kantor PLN UIW NTB, Kantor PLN ULP Selong, dan SMKN 3 Mataram. Dua SPKLU berikutnya yang diresmikan pada saat acara adalah di Hotel Santika dan MVP Coffee Company Grand Natura. Pembangunan SPKLU ini merupakan wujud nyata transformasi PLN dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di NTB. (*)