Mataram (NTBSatu) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional. Ketua MK, Suhartoyo membacakan secara langsung soal amar putusan tersebut.
MK mengabulkan gugatan dari Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis, 2 Januari 2025.
Namun, yang menjadi hal menarik ialah, dua hakim MK, Anwar Usman dan Daniel Yusmic memiliki pendapat berbeda. Anwar Usman merupakan ipar Presiden Jokowi.
Akan tetapi, pendapat yang berbeda itu, tak terlalu berpengaruh pada amar putusan MK. Sebab, terdapat tujuh hakim MK lain yang menyetujui amar putusan tersebut.
“Namun pada pokoknya dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Sehingga, seharusnya mahkamah tidak melanjutkan pada pokok permohonan,” kata Suhartoyo.
Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, “pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak berdasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.”
Dalam amar putusannya, MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.
Dalam gugatannya, pada intinya para pemohon menggugat pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang presidential threshold berupa 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Pasal 222 UU Pemilu telah mengatur persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” bunyi pasal tersebut. (*)