Mataram (NTB Satu) – Seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Sumbawa berinisial DP menjadi korban penganiayaan majikan di negara Timur Tengah.
Sebelum dianiaya menggunakan batang kayu, korban yang berangkat secara nonprosedural itu juga sebelumnya tidak mendapatkan jaminan kerja, karena terus-menerus dialihkan ke beberapa majikan oleh agen.
Kronologinya, pada Juni 2021, korban direkrut oleh A, seorang warga Desa Baru, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa. Kemudian oleh A, korban diberangkatkan dari Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM) menuju bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
Setelah sampai, korban langsung dijemput oleh seorang laki-laki yang tidak korban kenal, dan mengarahkan korban beristirahat. Setelah kurang lebih empat jam menunggu, korban diterbangkan menuju Abu Dhabi, lalu transit di Istanbul, Tunisia hingga sampai di Libya.
Di Libya, korban dibawa ke kantor agen di wilayah Tripoli. Setelah ditampung selama sehari, kemudian DP dijemput oleh majikan pertama yang namanya tidak korban kenal. Setelah bekerja selama satu bulan, korban dikembalikan lagi ke agen dengan alasan asisten rumah tangga yang lama sudah kembali.
Kejadian serupa dengan tempo kerja singkat terus berulang hingga empat kali dengan berbagai penyebab. Di antaranya majikan tidak senang dengan korban, korban tidak dianggap tidak kompeten, hingga adanya konflik antara korban dengan majikan.
Pada akhirnya, korban dijemput oleh majikan kelima bernama Abdul Basad dan Kaltum Ali. Di tempat inilah, korban sering menerima penganiayaan selama tujuh bulan bekerja. Tindakan penganiayaan datang dari Kaltum Ali karena cemburu melihat anaknya dekat dengan korban.
Dikarenakan tidak tahan dianiaya dengan batang kayu, korban rela menyiram muka dan tangannya sendiri menggunakan air panas agar dirinya dipulangkan. Akibatnya, muka dan kedua tangan korban mengalami luka bakar yang parah.
Namun, majikan nyatanya tidak mengabulkan permintaan korban, sehingga korban memfoto dirinya yang sedang mengalami luka bakar menggunakan handpone milik majikan, lalu dikirim ke orang tuanya di Sumbawa.
Kepada sang ayah, korban mengatakan bahwa dirinya sudah tidak kuat lagi bekerja karena sering dianiaya. Lantas korban kabur dari majikan menuju kantor agen, lalu ditampung selama dua bulan.
Pada 10 Juni 2022, korban dipulangkan oleh pihak agen menuju tanah air, kemudian pada 17 Juni 2022 dipulangkan ke rumah orang tuanya di Dusun Marente, Desa Marente, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa.
Kasus pemberangkatan PMI nonprosedural itu diungkap oleh Unit IV PPA Satreskrim Polres Sumbawa bersama BP2MI NTB dengan dugaan tindak pidana pelanggaran Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pelaku A dikenakan Pasal 81 jo Pasal 69 UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia .
“Orang perseorangan dilarang menempatkan Pekerjaan Migran Indonesia, dimana hukumannya paling lama kurungan 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar,” ujar Kepala Unit Reskrim Polres Sumbawa, Arifin.
Pada kesempatan terpisah, Kepala BP2MI NTB, Mangiring Hasoloan Sinaga menyampaikan apresiasi kepada Polres Sumbawa atas pengungkapan kasus tersebut. “Inilah yang dinamakan sinergi dan kolaborasi dalam penegakan hukum,” katanya.
Selanjutnya, ia menyampaikan akan mendorong setiap dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 untuk dilakukan penegakan hukum sembari mengingatkan kembali pentingnya kompetensi dan kemampuan berbahasa asing saat bekerja di luar negeri.
“Semoga peristiwa ini memberikan efek jera kepada pelaku, dan para pelaku sindikasi penempatan PMI nonprosedural yang masih melakukan kegiatan ilegalnya, berpikir ulang, karena BP2MI akan mengawal penegakan hukumnya,” pungkasnya.(RZK)