Mataram (NTB Satu) – Tidak seperti lukisan pada karya seni rupa, sampul buku-buku sastra, dan pamflet pertunjukan teater, corak kedaerahan hampir tidak pernah muncul dalam sampul-sampul album musik milik kelompok-kelompok musik atau band di Pulau Lombok. Hal tersebut lantas menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang membuat corak kedaerahan tidak muncul dalam sampul-sampul album musik kelompok-kelompok musik di Pulau Lombok.
NTB Satu kemudian bertanya kepada Onikill, ilustrator sekaligus pembetot bass kelompok musik Roll With The Punch. Saat berbincang dengan NTB Satu, Onikill menjawab, sebagai ilustrator, ia memiliki tugas untuk menyampaikan apa yang hendak digambarkan oleh musisi dalam lagu-lagu yang akan dirilis. Apabila musisi-musisi yang memiliki musiknya memang tidak pernah mengangkat corak kedaerahan, maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengedepankan hal tersebut.
“Berkaitan dengan sampul album musik, itu sebenarnya bergantung kepada permintaan musisi. Apabila saya mengerjakan sampul album untuk kelompok musik cilokaq, mungkin isu kedaerahan dapat ditonjolkan,” ujar Onikill, Senin, 24 Oktober 2022.
Sejauh ini, sepengetahuan Onikill, hanya kelompok musik The Dare yang mulai menggarap corak kedaerahan dalam lirik dan musik, bukan pada sampul album atau pun mini albumnya. Namun, sekali lagi, disinggung perihal corak kedaerahan dalam sampul album musik, Onikill mengembalikan hal tersebut kepada masing-masing musisi.
“Maka dari itu, saya mengharapkan agar ke depannya terdapat musisi-musisi yang lebih menggambarkan isu kedaerahannya sendiri,” tandas Onikill.
Sementara itu, Ilustator sekaligus Redaktur Media Musik Konser Lombok, Cholenesia menyatakan cukup bersepakat bahwa The Dare memang mengangkat sedikit isu kedaerahan dalam musiknya, walaupun tidak terlalu menonjol. Selain The Dare, menurut Cholenesia, Amtenar adalah salah satu kelompok musik yang berhasil mengangkat isu kedaerahan dalam musik, bukan pada sampul album musik.
Dalam hal mengangkat corak kedaerahan, Cholenesia berpendapat bahwa isu kedaerahan tidak akan pernah dapat menonjol apabila musisi yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran akan hal tersebut.
“Mengenai materi yang akan digarap dalam karya, saya rasa itu mesti kembali kepada masing-masing senimannya,” tandas Cholenesia.
Bila memperhatikan corak kedaerahan yang muncul dalam seni rupa di Pulau Lombok, maka jumlahnya cukup banyak, seperti yang kerap digarap oleh seorang perupa, yaitu Lalu Rahman yang salah satu karyanya berjudul “Pucuk Rebung”.
Sedangkan, dalam sampul buku-buku sastra, corak kedaerahan pun kerap kali muncul, seperti buku puisi milik Kiki Sulistyo yang berjudul “Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?”. Sementara itu, untuk pertunjukan teater, corak kedaerahan pun muncul dalam pamflet festival teater yang dihelat oleh Insomnia Theater Movement, yaitu “Max Arifin dan Teater”. (GSR)