Lombok Barat (NTB Satu) – NTB telah memenuhi sebesar 85 persen tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Target yang ditetapkan BPK sebesar 75 persen. Walaupun telah melebihi target, NTB didesak untuk segera memenuhi jumlah yang belum terselesaikan.
Kepala Perwakilan BPK untuk wilayah NTB, Ade Iwan Ruswana, S.E., M.M., Ak., CA, CSFA., mengatakan, kegiatan upaya percepatan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK diharapkan dapat meningkatkan sinergi mempercepat hasil pemeriksaan di NTB pada 2022. Hal tersebut, sesuai dengan ketentuan Undang-undag No.15 Tahun 2004 pasal 20 ayat 1 dan 2. Rekomendasi hasil pemeriksaan BPK wajib ditindaklanjuti oleh pejabat, dengan cara memberi jawaban atau penjelasan kepada BPK.
“Apabila pejabat tidak memberikan tindak lanjut atas temuan BPK, dapat dikenai sanksi administratif atau dipidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling banyak Rp500 juta. Hal tersebut, tercantum pada pasal 20 ayat 5 dan pasal 26 ayat 2,” ungkap Ade, di Hotel Aruna Senggigi, Lombok Barat, Rabu, 27 Juli 2022.
Sampai saat ini, BPK masih menyusun langkah strategis untuk memberlakukan sanksi administratif dan sanksi pidana itu.
Hasil pemantauan BPK per semester dua di tahun 2021, tindak lanjut yang sesuai dengan rekomendasi telah mencapai 85 persen. Belum sesuai sebesar 12 persen, rekomendasi yang belum ditindaklanjuti sebesar dua persen, dan rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah mencapai satu persen.
“Angka tersebut telah melampaui target yang ditetapkan oleh BPK, yakni sebesar 75 persen,” terang Ade.
Meski telah melebihi target, terdapat beberapa rekomendasi yang belum ditindaklanjuti dalam kurun waktu yang lama, kurang lebih di atas lima tahun. Hal tersebut disebabkan oleh bencana alam pada 2018, tim penyelesaian kerugian daerah yang belum berjalan maksimal serta rekomendasi yang tidak sesuai dengan konteks masa kini.
Oleh karena itu, BPK mendorong tim penyelesaian kerugian negara dan daerah, serta majelis pertimbangan kerugian daerah untuk menjalankan fungsi sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
“Selain itu, BPK NTB akan mengupayakan pemantauan secara khsusus, untuk membahas rekomendasi yang sudah lama dan tidak dapat ditindaklanjuti. Itu dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi, serta pencarian solusi,” jelas Ade.
Kepada seluruh pihak yang bertanggung jawab kemudian tidak memiliki niat dan kesadaran menindaklanjuti hasil pemeriksaan terutama yang berdampak finansial, BPK NTB akan segera mengambil sikap tegas penindakan.
Sementara itu, Anggota VI BPK Dr. Pius Lustrilanang, S.IP., M.Si., CFrA., CSFA., mengatakan, sesuai dengan Undang-undang No.15 Tahun 2004, BPK akan memastikan setiap rekomendasi dalam setiap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) telah ditindaklanjuti dengan baik oleh pejabat yang bersangkutan. Efektif atau tidak, hal tersebut sangat tergantung pada respons positif para pejabat dalam menindaklanjuti pemeriksaan BPK.
“Sampai dengan semester dua 2021, hasil pemantauan tindak lanjut pada 11 Pemerintah Daerah dan 10 Badan Usaha Milik Daerah di NTB, menunjukkan jumlah sebanyak 4.262 temuan, yang bernilai sebesar Rp738 miliar. Dengan jumlah 10.781 rekomendasi yang senilai Rp399 miliar,” ungkap Pius di Hotel Aruna, Senggigi, Lombok Barat, Rabu, 27 Juli 2022.
Secara lebih rinci, tindak lanjut entitas yang sudah sesuai berjumlah 9.240 rekomendasi atau 85 persen senilai Rp249 miliar. Tindak lanjut entitasi yang belum sesuai sebanyak 1.271 rekomendasi atau 115 miliar, setara dengan 12 persen.
Sedangkan, rekomendasi yang belum ditindaklanjuti berjumlah 150 atau dua persen dan setara dengan 2,9 miliar. Rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti berjumlah 80 atau satu persen dan setara 31 miliar.
“Perhitungan secara akumulatif hingga akhir 2021, rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode 2004 sampai dengan semester dua tahun 2021 telah ditindaklanjuti entitas dengan penyerahan aset atau uang senilai 337,8 miliar,” jelas Pius.
BPK terus mendorong peningkatan komitmen daerah untuk menyelesaikan beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti dalam rangka pemulihan keuangan daerah serta perbaikan tata kelola keuangan.
Capaian tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, secara rata-rata untuk 11 Pemerintah Daerah dan 10 BUMD di NTB, sampai 2021 telah mencapai target yang ditetapkan BPK yakni 75 persen. Kecuali tiga BUMD, PD Pasar Selaparang, PDAM Giri Menang, dan BPR Lotim.
“Yang tidak memiliki niat baik untuk segera menyelesaikan, sepertinya kami perlu agak sedikit memaksa,” tegas Pius.
Untuk menyelesaikan rekomendasi lama, diperlukan kerja keras dari kepala daerah yang kemudian didukung BPK untuk mendorong Pemerintah Daerah terkait. Pihak BPK pun perlu mengambil langkah yang tepat dalam mendorong seluruh Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan tindak lanjut atas rekomendasi, yang merupakan kewajiban untuk dilaksanakan.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah, BPK dapat menjalankan kewenangannya untuk melapor kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dengan syarat apabila entitas tidak menindaklanjuti dalam jangka waktu 60 hari sesuai dengan Undang-undang No. 15 tahun 2004 pasal 26 ayat 2. Mekanisme terkait hal ini harus segera diterapkan agar menjadi pertimbangan Pemerintah Daerah dalam mempercepat tindak lanjut sekaligus memberikan efek jera.
“Pada 2022, BPK NTB telah melaksanakan pemeriksaan kinerja dan keuangan di beberapa entitas di Pemerintah Daerah, salah satu hasil pemeriksaan yang perlu mendapat perhatian adalah pemeriksaan kinerja atas upaya untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah NTB tahun 2021,” ucap Pius.
Pemeriksaan kinerja tersebut bertujuan untuk menilai efektivitas Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dalam menanggulangi kemiskinan, yang meliputi kebijakan, pelaksanaan, dan pemberdayaan masyarakat miskin. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Pemprov NTB telah mengupayakan beberapa hal.
Pertama, Pemprov NTB telah menyelaraskan upaya penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan dari pemerintah pusat. Kedua, Pemprov NTB telah merancang manfaat dalam setiap kebijakannya.
“BPK mengapresiasi, namun ditemukan beberapa permasalahan dalam hasil pemeriksaan. Apabila tidak diselesaikan, akan berpengaruh signifikan terhadap efektivitas dalam menanggulangi kemiskinan,” sebut Pius.
Masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan meliputi, Pemprov NTB belum mengkoordinasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten dan kota serta satuan kerja di bawahnya. Selain itu, tim penanggulangan kemiskinan daerah belum menjalankan fungsi dengan baik.
Hal tersebut dapat dilihat dari Pemprov NTB yang belum menggunakan data di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau penggunaan data keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam menyusun program penanggulangan kemiskinan.
Ketiga, Pemprov NTB juga belum sepenuhnya melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan secara tepat. Hal tersebut ditunjukkan dari masih adanya kelompok penerima bantuan, yang bukan merupakan kelompok usaha bersama melainkan usaha perorangan. Keempat, terdapat bantuan hibah barang dan uang yang disalahgunakan.
“Penentuan sasaran penerima bantuan harus menggunakan data dari program DTKS atau data BKKBN untuk menyusun perencanaan program penanggulangan kemiskinan,” saran Pius.
Selain itu, tim kemiskinan daerah harus menjalankan fungsinya dengan optimal, terutama penyusunan rencana penanggulangan kemiskinan. Kemudian, harus mengoreksi dan menyinkronkan program, sejak pemantauan, perencanaan, kemudian evaluasi penanggulangan kemiskinan. (GSR)