Daerah NTB

Perda Pencegahan Perkawinan Anak di NTB Dinilai Lemah Tanpa Sanksi

Mataram (NTB Satu) – Kasus perkawinan usia anak kembali terjadi di NTB. Tidak adanya ketentuan sanksi dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak disebut sebagai salah satu penyebab terus munculnya kasus perkawinan usia anak.

Kasus terbaru perkawinan usia anak kembali mencuat. Kali ini di Lombok Tengah. Perkawinan tersebut terjadi antara anak di Desa Muncan dan Desa Langko. Sedang ada upaya pemisahan atau penundaan sampai mereka dewasa, lantaran usia mereka 14 dan 15 tahun.

IKLAN

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Mataram, Joko Jumadi mengatakan, Perda Pencegahan Perkawinan Usia Anak memang telah diluncurkan. Namun, anggaran untuk pencegahan perkawinan usia anak telah dihapuskan. Oleh karena itu, Perda dinilai tidak akan efektif bila tidak didukung dengan alokasi anggaran.

“Bila aturan telah dibuat dan tidak didukung dengan anggaran, maka itu sangat tidak masuk akal. Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB sudah sudah setuju soal alokasi dana sebesar satu persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pencegahan perkawinan usia anak,” ungkap Joko, ditemui NTB Satu di Mataram, Kamis, 2 Juni 2022.

Ketentuan sanksi dalam Perda nomor 5 tahun 2021 telah dihapus. Hal tersebut, dapat ditoleransi. Pasalnya, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengatur mengenai pemaksaan perkawinan.

Pemerintah mesti mengambil langkah pencegahan yang dapat dimulai dari sektor pendidikan, seperti memasukkan bahaya perkawinan usia anak serta serba-serbi sistem reproduksi dalam kurikulum.

IKLAN

“Dengan terbitnya UU TPKS, efek preventif dari aturan tersebut diharapkan mampu membendung angka perkawinan usia anak serta memberikan efek jera. Penghilangan sanksi di Perda nomor 5 tahun 2021 tidak akan berdampak besar seperti penghilangan anggaran,” terang Joko.

Diketahui, NTB memiliki kasus stunting, gizi buruk, serta putus sekolah dan lain-lain. Seluruh kasus tersebut, disebabkan oleh perkawinan usia anak.

Oleh karena itu, pemerintah provinsi NTB dinilai perlu memberikan perhatian lebih kepada kasus pencegahan perkawinan usia anak. 

Kasus perkawinan anak di NTB rata-rata terjadi lantaran keinginan anak-anak. Pergaulan yang menyimpang pun disebut turut mempengaruhi keberlangsung perkawinan usia anak.

Pihak keluarga sering mengganggap bahwa perkawinan di usia anak bakal menjadi solusi dalam membendung kenakalan anak-anak.

Di Pulau Lombok, terdapat istilah merariq kodeq atau menikah di usia anak. Merariq kodeq kerap disetujui oleh pihak keluarga. Pasalnya, bila tidak menyetujui, nama baik keluarga bakal tercoreng.

Bila merariq kodeq batal, pihak perempuan bakal mengemban aib. Sedangkan, pihak laki-laki bakal merasa martabat keluarga telah dijatuhkan.

“Dua hal itulah yang membuat kami terkadang sulit dalam melakukan pencegahan. Pemahaman juga harus diberikan kepada Tuan Guru dan tokoh-tokoh agama tentang perkawinan yang merupakan masalah besar di NTB,” terang Joko.

Pencegahan perkawinan usia anak belum dianggap penting di NTB. Selama ini, pihak terkait tidak menuntaskan permasalahan perkawinan usia anak hingga ke akar. Hal yang harus dilakukan adalah upaya sistemik dan berkelanjutan.

“Yang paling penting dilakukan pemerintah mesti berkomitmen untuk melaksanakan amanah dari Perda nomor 5 tahun 2021. Jangan sampai NTB hanya punya hobi buat Perda yang bagus, namun pelaksanaannya nihil,” tandas Joko.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Wismaningsih Drajadiah membenarkan perihal sanksi yang terhapus dalam Perda nomor 5 tahun 2021. Tidak terdapat sanksi dalam Perda itu, menurutnya merupakan masalah. Hal tersebut, bakal dijadikan evaluasi bersama pemerintah Provinsi NTB.

“Saya belum tahu apakah Perda nomor 5 tahun 2021, ikut dibuat di tingkat kabupaten dan kota. Rata-rata, semuanya sedang dalam proses. Sedangkan, kalau di tingkat provinsi, Perda sudah diberlakukan,” ungkap Wismaningsih, ditemui NTB Satu di ruang kerjanya, Kamis, 2 Juni 2022.

Melalui Wismaningsih, DP3AP2KB NTB menyatakan, tidak merasakan dampak dari Perda nomor 5 tahun 2021. Pasalnya, tindakan perkawinan pada usia anak terus terjadi.

“Awal pembuatan Perda nomor 5 tahun 2021, ketentuan sanksi sudah dimasukkan. Tapi, saya tidak tahu soal ketentuan sanksi yang tiba-tiba dihapus,” ujar Wismaningsih.

Wismaningsih menceritakan, sebelum sanksi pada Perda nomor 5 tahun 2021 dicabut, kasus perkawinan pada usia anak cukup rendah. Namun, hal sebaliknya justru terjadi setelah aketentuan sanksi dicabut.

“Tidak adanya sanksi akan menjadi kendala utama. Perda nomor 5 tahun 2021 tidak menampakkan giginya,” tegasnya.

Pembahasan lebih lanjut mengenai Perda nomor 5 tahun 2021 bakal segera dilakukan. Pasalnya, Perda tersebut baru diterbitkan. Tentu saja, Organisasi Perangkat Daerah tidak akan mencabut Perda yang baru saja diterbitkan.

“Karena tidak gampang buat Perda. Koordinasi dan upaya pembelasan (pemisahan) akan menjadi fokus utama bila kasus perkawinan usia anak kembali terjadi,” jelasnya.

Melakukan pernikahan di bawah tangan tidak disarankan. Sebab, hal tersebut cenderung akan merugikan diri sendiri. Berbagai imbauan tentang perkawinan usia anak serta Perda nomor 5 tahun 2021 bukan tindakan yang bakal memberatkan masyarakat. Justru, imbauan dan Perda itu dibuat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

“Dengan tidak adanya sanksi dalam Perda itu, kami akan carikan jalan keluar yang terbaik,” pungkas Wismaningsih. (GSR)

IKLAN

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button