Mataram (NTB Satu) – Jelang event akbar Motocross Grand Prix atau MXGP muncul kabar terkait status lahan diklaim atas nama Abdul Azis AB yang saat ini menggugat di Pengadilan Negeri Sumbawa. Dia menggugat perdata pemilik lahan H. Moch. Ali Bin Dachlan, mantan Bupati Lombok Timur yang sudah teken kontrak kerjasama dengan Pemkab Sumbawa selaku penyelenggara MXGP.
Diketahui, perkara itu sudah teregister dengan nomor Nomor 12/Pdt.G/2022/PN.Sbw. Menurut Abdul Azis dalam gugatannya tertanggal 14 Maret 2022 menyatakan Ali BD telah merayu dirinya untuk menjual tanahnya seluas 60 Ha tahun 2011 dan baru dibayar Rp 60 juta.
Bagaimana respons H. Al Bin Dachlan? Basri Mulyani, SH selaku kuasa hukum Ali BD menegaskan, itu adalah adalah pengiringan opini yang tidak berdasarkan hukum dan fakta.
“Kami sebagai kuasa hukum H. Moch. Ali Bin Dachlan menyarankan kepada Abdul Azis AB untuk fokus saja kepada upaya hukum yang telah dan tidak membangun opini publik yang menyesatkan dan semakin membikin gaduh di tengah-tengah masyarakat,” saran Basri Mulyani.
Ia merasa perlu meluruskan karena persoalan ini terus menggelinding di publik, dengan maksud agar masyarakat tercerahkan secara hukum.
Bagaimana fakta faktanya? Basri Mulyani menjelaskan melalui keterangan tertulis diterima redaksi ntbsatu.com Kamis 12 Mei 2022 dan diuraikan secara utuh, diantaranya :
- Abdul Azis AB yang menawarkan kepada kliennya untuk tanahnya dibeli katanya ia punya tanah tapi tidak punya surat-surat dari klien kami dia minta uang sejumlah Rp 2 juta untuk mengurus surat-suratnya 4 bulan kemudian baru jadi sporadik yang diurus itupun bukan hanya nama dia tapi juga ada nama anak mantu dan keponakannya yang jumlahnya hanya ±35 Ha dari ±40 Ha yang dijanjikan pada klien kami bukan ±60 Ha
- Sebagaimana dalil gugatannya maupun yang berkembang di publik. Sporadik yang Abdul Azis urus tidak keluar sekaligus tetapi bertahap dari ada tahun 2011, tahun 2012 dan tahun 2013.
- Jual beli yang klien kami lakukan awalnya dilakukan dibawah tangan tanggal 8 Agustus 2011 di hadapan saksi-saksi dan saat itu. Abdul Azis langsung menerima uang muka Rp. 83,5 juta, selanjutnya secara berturut-turut dilakukan dihadapan notaris sampai beberapa kali Abdul Azis menerima pembayaran yang jumlahnya melebihi dari yang diperjanjikan, sehingga secara fakta terang dan jelas tidak dibayar Rp. 60 juta dan tidak direbut dengan cara paksa tanah itu, ini jaman kebebasan bukan jaman pemerintahan dictator.
- Agar public mengetahui berikut jumlah tanah yang dibeli klien kami ada akta perikatan jual beli yang telah dilakukan dihadapan notaris sebagai pejabat umum pembuat akta tanah :
- Fakta diatas dapat dilihat M. Sulkarnaen (anak mantu) dan Jon Nasara (keponakan) dari Abdul Azis juga ikut menjual tanahnya kepada klien kami hanya seluas ±35 Ha bukan ±60 Ha, bahkan pembayaran tanah tersebut sudah melebihi dari apa yang diterima oleh Abdul Azis. Jadi tidak benar apa yang disampaikan di sejumlah media selama ini kalau tanah Abdul Azis direbut tahun 2021 dan hanya di bayar Rp 60 juta.
- Sebagaimana informasi Ketika Abdul Azis sudah jual tanah-tanah itu dia (Abd. Azis. Red) dan M. Sulkarnaen ada sewa tanah pada klien kami sampai beberapa tahun dia lakukan. Pada tahun 2021 itu dia tidak mau sewa dan sudah ada orang yang menyewa karena dia tetap bertahan dan yang sewa tanah tersebut mau tanam maka di usir Abdul Azis dari tanah tersebut bukan klien kami yang mengusirnya tetapi orang yang menyewa tanah tersebut.
- Bahwa tanah-tanah yang Abdul Azis klaim miliknya tersebut yang telah dia jual pada klien kami sudah terbit sertifikat hak milik atas nama 2 (orang) sebagai bentuk pengakuan hak atas tanah, yang tidak Abdul Azis tarik sebagai pihak dalam gugatannya. Klien kami hanya juru bayar yang tidak menguasai tanah-tanah itu. Sehingga sesungguhnya gugatan Abdul Azis di Pengadilan Negeri Sumbawa adalah gugatan salah subyek yang digugat dan obyek gugatan tidak sesuai dengan yang diperjual belikan. Sehingga dampaknya salah batas-batas obyek sengketa, dalam hukum di yang dinamakan gugatan yang kabur atau obscuur libel dan kurang pihak yang seharusnya menjadi Penggugat dan Tergugat.
- Selanjutnya formulasi gugatan Abdul Azis juga tidak jelas apakah gugatan
wanprestasi (ingkar janji) atas belum lunasnya pembayaran ataukah gugatan perbuatan melawan hukum atas penyeroboran yang didalilkannya. Karena dalam hukum acara perdata tidak benarkan untuk menggabungkan gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum dalam satu kesatuan, sebab hukum acaranya berbeda.
- Kami selaku kuasa hukum juga menanggapi pernyataan Ketua HKTI Sumbawa tentang tanah absente yang klien kami dinyatakan tidak berhak untuk memiliki di Samota. Saran kami kalau mau mengutip pendapat soal hukum tentang tanah absente jangan sepotong-potong dampaknya pasti akan mengambil kesimpulan yang sesat dalam cara berfikir hukum (fallacy) dengan logika yang sesat sangat membahayakan publik atas pernyataan-pernyataannya yang tidak sesuai dengan kaedah hukum. Penerapan kaidah tanah absente tidak dapat dipisahkan dengan prinsip tanah terlantar khususnya tanah-tanah pertanian yang ada di desa-desa yang dikuasai oleh orang luar kecamatan. Apakah Kelurahan Brangbiji sudah berubah status menjadi desa Brang Biji dan apakah disekitar Samota tersebut hanya klien kami yang dari luar Sumbawa dan apakah tanah-tanah yang klien kami beli di telantarkan, seharusnya cara berfikirnya sesuai fakta dan kaidah hukum. Jadi, tidak kemudian menyesatkan publik dengan pengetahuan hukum yang sebenarnya tidak dipahami antara teori dan prakteknya.
- Sebagaimana yang telah kami sampaikan obyek sengketa yang merupakan tanah negara telah diberikan pengakuan hak kepada 2 orang dengan terbitnya sertipikat hak milik jadi secara hukum pembatalan sertupikat hanya dapat dilakukan di pengadilan tata usaha bukan kompetensi Pengadilan Negeri Sumbawa.
- Sedangkan Abdul Azis yang mengklaim tanah negara tersebut oleh negara tidak pernah diberikan hak apalagi membayar pajak-pajak tanah untuk pendapatan negara. Selama ini klien kami selalu membayarnya sebagai warganegara, disana sprit of law agar tanah tidak terlantar dan abente untuk dapat didayagunakan dan hasil gunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan peemerintah mendapatkan pendapatan.
- Mengutip Adigium Hukum : Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist – saat ada bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata?, jadi fakta-fakta yang akan membuktikan apakah benar atau tidak dalil-dalil gugatan Abdul Azis di persidangan dari kata-kata yang diucapkan selama ini dan yang disampaikan kepada public yang tidak benar.
- Klien kami dalam persidangan ini mengajukan gugatan balik (rekonpensi) atas gugatan yang Abdul Azis lakukan yang tidak sesuai fakta. Karana dalam Putusan Nomor 24/Pdt.G/2018/PN.Sbw, pada halaman 24 dibawah sumpah sebagai saksi Abdul Azis menyampaikan bahwa tanah-tanahnya yang jumlahnya 65 Ha sudah dia jual semuanya pada klien kami dan dia abdul azis sudah tidak punya tanah lagi di Samota. Atas keterangan tersebut tentu berdampak pada gugatannya hari ini yang berarti keterangan sebelumnya adalah kesaksian palsu yang dalam ketentuan pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), barang siapa dalam keadaan di mana undang- undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sehingga sangat wajar secara hukum klien kami telah dirugikan secara imateriil atas matabatnya yang telah diserang tersebut.
- Kepada publik baik LSM dan organisasi lainnya secera person maupun Lembaga kami mengingatkan agar tidak mengkomentari sesuatu yang tidak diketahui fakta sebenarnya dan kami akan menempuh upaya hukum atas saluran hukum yang disediakan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan dan memprovokasi masyarakat dalam ruang digital. (HAK)