Kota Bima

Lapisan Cokelat di Teluk Bima Bukan Limbah, Tim IPB University Identifikasi sebagai Kelimpahan Fitoplankton

Mataram (NTB Satu) – Tim IPB University melakukan respon cepat terhadap fenomena munculnya lapisan cokelat tebal di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat. Hasil identifikasi cepat tim IPB University dan tim Universitas Mataram (Unram) menunjukkan adanya kelimpahan fitoplankton yang sangat tinggi dari kelas Bacillariophyceae (Diatom). Fitoplankton tersebut diduga mengarah pada genus Navicula atau Mastogloia dengan estimasi kelimpahan berkisar 10–100 miliar sel per liter.

Tim dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University dipimpin oleh Prof Hefni Effendi yang merupakan Pakar Lingkungan IPB University. Beranggotakan Mursalin Aan, M.Si., yang merupakan Ahli Kualitas Air; Reza Zulmi M.Si., dosen IPB University dari Departemen MSP; dan Luluk DW Handayani, M.Si., peneliti PPLH IPB University.

Dalam pengambilan sampel pada Jumat, 29 April 2022, Prof Hefni dan tim berkoordinasi dengan alumnus IPB University dari Departemen MSP FPIK, Maulana Ishak, S.Pi., yang berdomisili di Bima. Maulana juga merupakan Ketua Yayasan Kabua Dana Rasa (LSM Lingkungan). Prof Hefni bersama tim juga berkoordinasi dengan Dr. Paryono dari Unram. Tim Unram juga melakukan pengambilan contoh lapisan cokelat dan contoh air.

“Kesimpulan yang dapat diintisarikan dari kajian awal ini adalah, adanya lapisan coklat serupa jelly ini merupakan material biologis berupa biomassa fitoplankton (Bacillariophyceae) yang mengalami peledakan pertumbuhan pesat (blooming), yang sudah mati dan mengapung di permukaan laut,” kata Prof Hefni.

Dengan mengacu pada baku mutu air laut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, ambang batas kelimpahan fitoplankton bagi wisata bahari dan biota laut adalah 1.000 sel per mililiter. Dengan kata lain, kelimpahan fitoplankton yang melebihi ambang batas tersebut dianggap tidak baik bagi wisata bahari dan biota laut.

Tidak hanya itu, apabila dibandingkan dengan fenomena blooming lainnya, kelimpahan plankton jenis diatoms ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Penelitian Damar et al. (2021) di Teluk Jakarta hanya melaporkan hitungan puluhan juta sel per liter.

Konsentrasi unsur hara seperti nitrogen, fosfor, dan silikat yang berlebih, dapat memicu pertumbuhan pesat fitoplankton di kolom air. Pertumbuhan logaritmik yang pesat fitoplankton di kolom air bisa berlangsung 3-5 hari. Setelah itu, fitoplankton akan mengalami fase stationary (pertumbuhan normal) dan fase death (mati alami).

Prof Hefni menjelaskan, ketika fitoplankton yang kelimpahannya sangat tinggi ini mati, maka akan mengapung di permukaan laut membentuk lapisan coklat serupa jelly. Ia menyebut, ketika masih mengalami masa pertumbuhan, fitoplankton (mikro algae) hidup melayang di kolom air, terombang ambing oleh gelombang dan arus.

“Mengingat perairan teluk, maka blooming Bacillariophyceae ini mudah terkonsentrasi menjadi lebih pekat, karena topografi teluk yang semi tertutup, sehingga flushing air berlangsung lambat dan kondisi ini menyokong terjadinya akumulasi biomassa Bacillariophyceae,” kata Prof Hefni.

Ia melanjutkan, Bacillariophyceae sejauh ini dilaporkan bukan kelompok fitoplankton yang menghasilkan racun atau toksin. Jenis fitoplankton ini juga tidak seperti beberapa jenis Dinofalgellata.

Pakar lingkungan dari IPB University itu menjelaskan, kematian ikan dan beberapa biota lautnya lainnya diduga bukan karena toksin, tetapi karena kekurangan oksigen terlarut di kolom air. Hal ini karena difusi oksigen dari udara ke kolom air terhalangi oleh lapisan coklat serupa jelly di permukaan laut.

Kadar oksigen terlarut di kolom air bisa mendekati kondisi anaerob atau tanpa oksigen. Sebetulnya, kata Prof Hefni, fitoplanktonadalah tumbuhan renik yang berfotosintesis dan menghasilkan oksigen dan menjadi pemasok oksigen di kolom air. Namun, manakala fitoplankton yang jumlahnya miliaran sel ini mati secara bersamaan maka proses perombakan atau dekomposisi/pembusukan menjadi bahan anorganik, membutuhkan oksigen dalam kuantitas yang besar pula.

Maknanya, kondisi yang sebelumnya aerob atau ada oksigen bisa berubah menjadi anaerob, konsekuensi dari konsumsi oksigen secara masif. Selain itu, pada malam hari ketika berhenti berfotosintesis, fitoplankton juga berespirasi yang mengonsumsi oksigen dalam jumlah yang besar pula.

Dosen IPB University itu memaparkan, mengingat sangat melimpahnya populasi fitoplankton maka kelangkaan oksigen di kolom air kemungkinan bisa terjadi oleh beberapa hal. Di antaranya yaitu terhambatnya difusi oksigen dari udara ke kolom air akibat tertutup oleh lapisan serupa jelly, penggunaan oksigen yang sangat banyak untuk proses dekomposisi fitoplankton yang mati. Oleh karena itu, ikan dan biota laut dapat mengalami kematian karena kekurangan pasokan oksigen.

Fenomena blooming fitoplankton memang secara berkala terjadi di perairan laut. Sebagai contoh, kejadian blooming Trichodesmium kelas Cyanophyceaa di perairan laut Kepulauan Seribu pada 15 Oktober 2020 dengan kelimpahan tertinggi sekitar 58 milyar sel per liter. Laporan kajian ini telah dipublikasi pada Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (JPLB) (https://www.bkpsl.org/ojswp/ index.php/jplb/article/view/92/72).

Fenomena blooming di Kepulauan Seribu ini tidak setebal di Teluk Bima. Hal ini bisa diklarifikasi karena perairan laut Kepulauan Seribu merupakan perairan terbuka, sehingga blooming Trichodesmium tersebar, tidak terkonsentrasi, sehingga kelimpahannya relatif lebih kecil dari blooming di Teluk Bima. Kajian blooming di Kepulauan Seribu terselenggara atas kolaborasi PPLH IPB University dan PHE ONWJ (Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java).

Ia menyebut, blooming diduga terjadi karena kombinasi antara fenomena alam (iklim dan oseanografi) dan kemungkinan adanya pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) perairan dari sumber yang tidak tentu (non point sources). Fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae bukan penghasil racun (algae toxin), namun blooming tetap berefek terhadap proses ekologi dan sosial (keresahan masyarakat), berupa kekurangan oksigen dan menurunnya estetika perairan.

“Untuk menguak lebih lanjut fenomena kausalitas terjadinya blooming, perlu telaah lanjutan. Terutama yang berkaitan dengan sumber penyebab blooming, penstimulir mengapa unsur hara tiba-tiba tinggi di kolom air, apakah ada fenomena pembalikan massa air (up welling), karena perubahan suhu dan perubahan musim dari hujan ke kemarau? dan adakah sumber antropogenik di laut dan darat yang mengakibatkan peningkatan unsur hara di laut, khususnya di Teluk Bima,” ujar Prof Hefni. (r)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button