Mataram (NTB Satu) – Penetapan status tersangka kepada Amaq Sinta, korban pembegalan di Lombok Tengah dinilai kurang tepat. Untuk itu Polisi diminta mempelajari dengan cermat posisi kasusnya.
Direktur LIHO Institute, Muhamad Arif berpandangan, penetapan status tersangka kepada Amaq Sinta merupakan langkah yang keliru dari Polres Lombok Tengah. Sebab kasus yang menimpanya tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana atau perbuatan yang melawan hukum.
Menurut Arif, ada dua faktor yang harus dicermati polisi.Pertama dalam posisinya sebagai korban begal, Amaq Sinta jelas melakukan tindakan itu karena keadaan memaksa atau daya paksa (Overmacht), kemudian kedua tentang pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (Noodweer atau Noodweer exces).
Bahwa dalam keadaan memaksa (Overmacht) dalam ketentuan Pasal 48 KUHP tindakan yang menimbulkan pengaruh daya paksa terhadap korban tidak dapat dipidana. Sementara di sisi lain perbuatan yang dilakukan korban masuk juga dalam kategori pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (Noodwer) sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP bukan merupakan perbuatan pidana.
“Dengan alasan tersebut polisi harus cermat, tidak gegabah menetapkan status seseorang sebagai tersangka, apalagi keliru. Sehingga menurut saya tidak tepat kasus ini dikategorikan sebagai delik,” terang Muhamad Arif, Rabu 13 April 2022.
Masih kata Arif, dalam perspektif hukum sudah dengan terang menjelaskan hal tersebut untuk memperkuat tafsir terkait adanya tindakan yang dilakukan dengan keadaan terpaksa. Seperti dugaan yang dilakukan Amaq Sinta terhadap kedua pelaku yang terbunuh, sesungguhnya dapat dibenarkan oleh hukum.
Kenapa dapat dibenarkan dalam hukum pidana, karena ketika seseorang merasa terancam dari suatu tindakan kriminal atau kejahatan yang datang menyertai dirinya. Maka tentu upaya yang bisa dilakukan seseorang agar menghindari dari kejahatan yang mengancam nyawa dan perbuatan yang tidak menyenangkan dapat dilakukan pembelaan diri.
“Maka demi keadilan dan kepastian hukum terhadap Amaq Sinta harus bebas dari segala tuntutan hukum. Menurut ketentuan hukum pidana kita,” paparnya.
Sementara Polda NTB melalui Kabid Humas, Kombes Pol Artanto menjelaskan, terkait penetapan tersangka MR alias Amaq Sinta, statusnya harus diperjelas dengan cara penyelidikan dan penyidikan lebih mendalam dari pihak Kepolisian.
Dimana yang bersangkutan melakukan perbuatan luar biasa yang tidak bisa dihindarkan dan harus dilakukannya.
Dengan demikian, masyarakat bisa memahami proses verbal atau proses hukum dan yang menentukan status (bersalah/tidak bersalah) Amaq Sinta karena membela diri atau overmacth itu adalah hakim di Pengadilan. Bagaimana hakim bisa menentukan, tentunya harus melalui proses peradilan agar bisa diputuskan dan ditetapkan status dari Amaq Sinta.
“Kalau orang jadi tersangka belum tentu menjadi terpidana,” ungkap Kabid Humas, dalam Rilis yang di terima Ntbsatu.com Rabu 13 April 2022.
Artanto menjelaskan, status tersangka terhadap seseorang belum tentu dia bersalah. Oleh karena itu, kepolisian membantu menentukan status Amaq Sinta dengan proses verbal atau peradilan.
“Dan hari ini juga kita bantu yang bersangkutan juga untuk proses penangguhan penahanan. Pengacara dan keluarga Amaq Sinta sudah mengajukan penangguhan penahanan,” kata Artanto.
Antara Amaq Sinta dan pembegal ini saling berkaitan. Yakni, pembegal ditetapkan pelaku begal, Amaq Sinta melawan hingga membuat pembegal meninggal dunia. Tindakan tersebut dijelaskan di KUHP adalah overmacht, melakukan upaya kegiatan luar biasa yang tidak bisa dihindarkan oleh yang bersangkutan.
“Nanti hakim yang akan menentukan apakah yang bersangkutan ini statusnya bersalah atau tidak. Jadi bukan polisi. Tapi polisi harus menyiapkan berkas yang real dan jelas. Polisi juga akan berkoordinasi dengan CJS (Criminal Justice System) sebagai bagian proses terhadap Amaq Sinta,” turup Artanto. (MIL)