Mataram (NTB Satu) – Ampenan adalah kota pelabuhan yang pernah berjaya di masa kerajaan Mataram, di era kolonial, orde lama hingga orde baru. Kota ini memiliki banyak aspek yang menarik untuk dilihat, salah satunya adalah bangunan-bangunan tua yang sampai sekarang masih menjadi saksi bisu perjalanan kota ini dari masa ke masa.
Namun, tahukah Anda, siapa pemilik dan bagaimana status bangunan -bangunan tua tersebut?. Satu dari beberapa lokus bangunan-bangunan tua tersebut, terletak di kelurahan Dayen Peken.
Lurah Dayen Peken, Mujtahidin mengatakan, status bangunan-bangunan tua tersebut, belum jelas siapa pemiliknya.
“Sebenarnya, untuk status (bangunan-bangunan tua) itu belum jelas,” ujar Mujtahidin saat ditemui langsung oleh ntbsatu.com, di Kantor Kelurahan Dayen Peken, Jumat, 4 Maret 2022.
Ditanya mengenai apakah pihak kelurahan Dayen Peken memiliki data soal bangunan-bangunan tua tersebut, Mujtahidin mengungkapkan pihaknya sama sekali tidak memiliki data apa pun.
“Untuk data lengkap kita belum ada. Soal data yang lebih jelas, saya juga belum mengkonfirmasi. Nanti, saya akan coba mengkonfirmasi kepada pihak lingkungan,” ucap Mujtahidin.
Lebih lanjut, Mujtahidin mengatakan pihaknya bakal menunggu respon dari pihak kecamatan mengenai pendataan. Apalagi, menurut keterangan dari Mujtahidin, pihak Kecamatan Ampenan, akan segera melaksanakan program pendataan bangunan-bangunan tua.
Selain melakukan pendataan, Mujtahidin juga memberitahu bahwa bangunan-bangunan tua tersebut bakal dijadikan spot pariwisata.
“Soal pendataan, itu bakal ada program dari pihak kecamatan sendiri untuk mulai memilah dan memilah bangunan-bangunan tua yang ada di Kecamatan Ampenan. Nantinya, bangunan-bangunan tua itu bakal jadi tempat pariwisata,” papar Mujtahidin.
Berbicara perihal wisata apa yang bakal dibangun, ia menyebut pihak kecamatan Ampenan yang akan bekerjasama dengan seluruh kelurahan untuk membangun museum serta membuat suasana di Ampenan, terasa seperti Malioboro, Yogyakarta.
“Infonya, kecamatan bakal kerja sama dengan seluruh kelurahan, nantinya di sepanjang jalan Niaga sana, bakal dibangun museum. Selain itu, nanti juga bakal dibikin suasana di Ampenan, sama seperti suasana kota tua di Malioboro, Yogyakarta,” jelas Mujtahidin.
Mujtahidin menuturkan bahwa bangunan-bangunan tua di seputaran kelurahan Dayen Peken itu masih ada yang menghuni. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bangunan-bangunan tua tersebut, mulai berubah fungsi, sesuai dengan kebutuhan masing-masing penghuninya.
“Bangunan-bangunan itu memang ada penghuninya. Tapi, orang-orang yang tinggal di dalam bangunan itu, mengubah fungsi bangunan mereka, sesuai dengan keinginan mereka masing-masing,” tambahnya.
Sementara itu, Pendiri Lombok Heritage and Science Society, Zulhakim mengatakan bangunan-bangunan tua di kota ini memang dimiliki oleh sejumlah orang. Namun para pemiliknya saat ini lebih banyak menetap di luar pulau Lombok.
“Pemiliknya (bangunan-bangunan tua) itu ada semua. Tapi, ternyata mereka saat ini sedang tinggal di Surabaya dan sejumlah daerah lain,” kata Zulhakim.
Zulhakim menerangkan, pemerintah hanya memiliki sekitar 5 persen dari semua bangunan tua di Ampenan tersebut. Sedangkan, 95 persen lainnya dimiliki oleh swasta. Hal tersebut, lantas membuat pemerintah juga mengalami kesulitan dalam mengakses atau mengatur bangunan-bangunan tua itu.
“Kepemilikan pemerintah hanya 5 persen. Cuma itu saja. Selebihnya, itu dimiliki oleh swasta dan orang luar. Terlebih, orang luar tersebut sekarang tidak menetap di Ampenan. Jadi, pemerintah memang agak kesusahan,” ujar jurnalis senior ini.
Lebih lanjut, Zulhakim menceritakan dahulunya Ampenan adalah kota yang maju, sebab peradaban memang berkembang dengan sangat pesat. Hal itu menyebabkan, banyak para pengusaha mulai berbisnis di Ampenan. Namun, tepatnya pada tahun 1971 pasca pelabuhan dipindah ke Lembar, Lombok Barat, kota legendaris ini akhirnya sepi.
“Tahun 1971, begitu pelabuhan (Ampenan) tutup dan pindah ke Lembar, orang-orang mulai mencar ke luar daerah. Lalu, bangunan-bangunan yang tersisa, dijadikan hanya sebatas aset,” tutur Zulhakim.
Dikarenakan bangunan-bangunan tersebut dikuasai oleh pihak swasta, pemerintah tidak memiliki hak untuk mengintervensi.
Selain itu, faktor bangunan-bangunan tua di Ampenan yang belum ditetapkan sebagai wilayah cagar budaya turut menghambat tangan pemerintah dalam mengurusi daerah yang dulunya itu dipuja-puja sebagai episentrum Lombok tersebut.
“Setau saya, gedung-gedung tua di Ampenan, belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal itu, sudah dikonfirmasi langsung oleh orang-orang cagar budaya,” tuturnya.
Selama gedung-gedung tua di Ampenan belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya, maka selama itu pula pemerintah tak memiliki hak untuk mencampuri, bahkan hanya sekadar untuk memiliki niatan mempercantik kota yang terkenal dulu dengan pelabuhannya itu, sedikit pun tak bisa.
Dari tahun 1971, penyakit yang sampai saat ini melekat dalam jiwa raga Ampenan adalah ketidakmampuan pemerintah dalam menghidupkan sektor ekonomi. Zulhakim mengatakan, andai saja faktor ekonomi tersebut bisa diurusi dengan baik, maka kemungkinan besar Ampenan tak akan mengalami “kematian”.
“Selama ini, penyakitnya (Ampenan) itu adalah ekonomi yang mati. Karena ekonomi mati, akhirnya orang-orang tidak bisa membuka usaha di sana. Bila aktifitas ekonominya hidup, tentu tempat itu akan hidup,” pungkas Zulhakim.
Ampenan dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua yang telah dimakan oleh usia. Nyaris di semua bangunan itu, beberapa bagian tembok dan catnya telah terkelupas seiring berjalannya waktu.
Ampenan merupakan satu dari 16 kota tua yang masuk data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kota pusaka dengan klaster B.
Perkembangan selanjutnya, sejarah mencatat bahwa Ampenan menjadi kota pelabuhan bagi pemberangkatan jamaah haji asal Lombok. Namun, setelah pusat pelabuhan dipindahkan ke Lembar, Kabupaten Lombok Barat, aktivitas di pelabuhan peninggalan kolonial Belanda itu kemudian sepi.
Perjalanan yang panjang Ampenan tersurat dalam guratan sejarah kehidupan masyarakat di Pulau Lombok. Kemudian, Ampenan kini menjadi saksi bisu hiruk pikuk aktivitas perekonomian ratusan tahun silam.
Kini, yang tersisa dari Ampenan hanyalah bangunan-bangunan tua yang kusam, tetapi penuh dengan nilai sejarah yang sangat perlu dilestarikan agar generasi selanjutnya mampu menikmati kota tua ini dengan wajah barunya. (GSR)