Mataram (NTB Satu) – Salah satu faktor yang mempengaruhi problem literasi di Provinsi NTB adalah banyak sekolah yang belum terakreditasi standar pelayanan perpustakaan. Padahal, sekolah umum, madrasah, maupun Pondok Pesantren (Ponpes) adalah epicentrum aktifitas literasi.
Sebagai instrumen pencerdasan kehidupan bangsa, sekolah sebagai institusi pendidikan mestinya menjamin mutu pelayananan kepada siswa, khususnya mutu pelayanan perpustakaan.
Namun, dalam pengamatan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan NTB, masih banyak institusi pendidikan yang abai terhadap kompetensi pengelola perpustakaan di sekolah.
“Guru-guru yang kurang jam mengajar saat ini banyak ditempatkan sebagai pengelola perpustkaan. Kan itu tak berkompeten,” ungkap Julmansyah dikonfirmasi ntbsatu.com pekan kemarin.
Karena itu, bagi Julmansyah, tantangan masa depan literasi di Provinsi NTB adalah kolaborasi dan kekompakan seluruh elemen di pemerintahan maupun masyarakat.
“Menyelesaikan indeks literasi tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi saja,” katanya.
Julmansyah menegaskan, peran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) di tingkat provinsi mauapun kabupaten/kota, dan peran Kanwil Kementrian Agama lingkup provinsi dan kabupaten/kota, bisa menjadi jembatan kemajuan literasi NTB.
“Di sekolah tidak cukup membaca buku pelajaran. Tetapi, buku biografi orang-orang hebat, buku-buku sastra juga harus ada untuk merangsang kecerdasan bahasa anak didik,” ujarnya.
Selanjutnya, Julmansyah menyatakan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan NTB memiliki fungsi pembinaan terhadap perpustakaan di institusi pendidikan.
“Kemarin kita sudah lakukan bimbingan teknik terhadap 361 madrasah di semua level pendidikan,” pungkasnya. (DAA)