Mataram (NTB Satu) – Aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) mengkritik cara pemerintah melakukan treatment terhadap masalah anak. Seperti paradoks, keberpihakan yang bertentangan, sebab kepedulian terhadap hewan ternak justeru lebih detail.
Situasi miris ini menurut Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi merespons maraknya kasus pemerkosaan anak di bawah umur, ditambah dengan motif kasus yang semakin menyayat rasa kemanusiaan.
Seperti kasus dua pekan terakhir, pencabulan siswi 12 tahun di Kecamatan Woja Dompu, pemerkosaan gadis 14 tahun di Plampang Sumbawa, pemerkosaan gadis 16 tahun di Empang Sumbawa, terbaru kasus pemerkosaan siswi SMA oleh lima pemuda di Kabupaten Bima.
Joko mengamati, tingkat keseriusan pemerintah di level mana pun masih rendah dalam urusan kasus anak. Paling terlihat adalah soal peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk penanganan kasus.
Ini terekam dari proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), data demografi dari tingkat pemerintah pusat sampai tingkat desa sekalipun.
“Saya miris, di seleksi CPNS tahun ini misalnya, adakah merekrut spesialis anak? Coba dicek, mungkin saya keliru. Tapi setahu saya tidak ada,” ungkap Joko menjawab ntbsatu.com.
Kurangnya kebijakan keberpihakan pada anak di level pemerintah pusat itu juga terjadi sampai ke tingkat desa. Pertanyaan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mataram ini, apakah data anak yang menjadi korban di kantor desa?
“Seperti di sistem informasi desa, adakah data berapa anak menikah dini, berapa anak korban pemerkosaan, bagaimana penanganan dan advokasi kasusnya. Coba cek, ada tidak?. Saya lihat sendiri tidak ada,” tanyanya.
Pada level level pemerintahan itu, ia kemudian membandingkan dengan kebijakan untuk sektor lain. Seperti proses rekrutmen ahli di banyak bidang sektor peternakan.
“Saya miris, perempuan dan anak di sini. Sapi saja disiapkan tenaga professional. Di Dinas Peternakan ada dokter hewan, ada penyakit hewan, tenaga ahli inseminasi buatan. Sedangkan untuk untuk anak tidak ada,” sesalnya.
Padahal dengan menyiapkan SDM yang memadai, bisa jadi bagian treatment penanganan kasus hingga minimalisir kasus. Data base juga sangat penting bagi Pemerintah sampai tingkat Pemerintah desa (Pemdes). Karena dengan data, bisa memonitor grafik kasus, tren kasus, motif dan penanganan pencegahannya.
Sementara yang terjadi saat ini, dominan masih sebatas seperti penanganan genteng bocor atau seperti pemadam kebakaran.
Padahal kasus kekerasan seksual anak bukan fokus pada penanganan saja, tapi perlindungan sejak hilir, penyiapan infrastruktur dan SDM.
Minim keberpihakan juga masih terlihat pada distribusi anggaran untuk di instansi domain perlindungan anak dan perempuan. Masih relatif sangat kecil.
Di level Pemerintah Provinsi saja hanya sekitar Rp 5 miliar, padahal kebutuhan ideal mencapai Rp 30 sampai Rp 50 miliar. Semakin miris ketika mengintip alokasi untuk level kabupaten dan kota, hanya Rp 500 juta sampai maksimal Rp 1,5 miliar.
“Padahal alokasi anggaran yang ideal itu dibutuhkan untuk membuat sistem perlindungan bagi anak, dari hulu sampai hilir, pencegahan sampai penanganan kasus,” tegasnya.
Saran Joko, fokus pemerintah harus jelas pada perlindungan anak dan perempuan, menyiapkan SDM dan infrastruktur, memperbaiki sistem, menyiapkan serta team work melibatkan semua unsur. (red)