Mataram (NTBSatu) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, mendorong perselisihan yang berkaitan dengan produk jurnalistik (pemberitaan,red) diselesaikan sesuai mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketua AJI Mataram, M. Kasim mencatat, periode bulan Februari 2025, tercatat dua kasus pemberitaan di media yang dipersoalkan oleh masyarakat.
Pertama, laporan masyarakat yang diposting oleh Inside Lombok diakun media sosialnya. Kasus ini berujung pada persekusi dan kekerasaan fisik yang dialami jurnalis Inside Lombok, Yudina saat ingin mengkonfirmasi keluhan warga perumahan ke PT. Meka Asia selaku pengembang perumahan.
Kedua, pemberitaan NTBSatu.com berjudul “LIPSUS – DAK Dikbud Digocek di Lapangan Becek“. Berita yang dimuat pada 17 Februari 2025, disinyalir oleh sebagian orang menimbulkan kegaduhan. Dewi William yang namanya tersebut dalam pemberitaan, mengancam akan melayangkan somasi.
Selain itu, kecaman juga muncul dari Koalisi Tokoh Sasak Besopok. “AJI Mataram mencatat dua kasus berkaitan dengan pemberitaan dipersoalkan oleh masyarakat,” kata Cem, sapaan akrab Ketua AJI Mataram.
Cem menegaskan, tidak mempermasalahkan siapapun merasa keberatan dengan pemberitaan di media. Akan tetapi, mekanisme telah tertera dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999, sesuai Pasal 5 ayat 2 dan 3, bahwa Pers Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi.
Pers berkewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi dengan memuatnya di dalam surat kabar atau media yang bersangkutan. Hal itu ada dalam ketentuan Dewan Pers Nomor: 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab.
Hak jawab dalam perspektif undang-undang adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang mempublikasikannya.
Hal ini juga dipertegas pada Pasal 11 kode etik jurnalistik menyebutkan wartawan melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Artinya, seseorang atau kelompok masyarakat yang merasa keberatan dapat memberikan sanggahan atas pemberitaan yang dinilai merugikan diri pribadi maupun kelompok.
“Jadi tidak bisa kemudian permasalahan pemberitaan dibawa ke ranah hukum,” tegasnya.
UU Pers Bersifat Lex Specialis
Undang-Undang Pers memiliki sifat lex specialis. Artinya, asas hukum khusus mengesampingkan peraturan umum yang berlaku. Cem mengatakan, seandainya seseorang dan kelompok masyarakat telah menempuh hak jawab, semestinya tidak memperkarakan kembali jurnalis atau media. Apabila bila merasa tidak puas maka bisa melapor ke Dewan Pers untuk menempuh sengketa pers.
“Kasus pemberitaan bukan ranah aparat penegak hukum, melainkan urusan Dewan Pers,” ujarnya.
Dewan Pers, sambung Cem, akan menguji pemberitaan atau produk jurnalistik tersebut. Hasil kajian dari DP akan diputuskan apakah media itu bersalah atau tidak. Sehingga direkomendasikan untuk memberikan hak koreksi atau media menyampaikan permintaan maaf.
Cem justru menyesalkan sekelompok orang justru ingin melaporkan media NTBSatu.com ke aparat penegak hukum, tetapi belum menempuh mekanisme yang teratur dalam UU Pers. “Agak lucu kalau ormas mau lapor ke polisi. Tindakan itu sebagai upaya membungkam pers di NTB,” sesalnya.
Ia juga berpesan kepada jurnalis di NTB, tetap jalankan kerja-kerja jurnalistik secara profesional, mengedepankan asas praduga tidak bersalah serta mematuhi UU Pers dan kode etik jurnalistik. (*)