BERITA NASIONALEkonomi Bisnis

25 Persen Dana Investasi Hijau Asia Tenggara Masuk ke Indonesia

Mataram (NTBSatu) – Sepanjang 2023, Indonesia menjadi negara penerima dana investasi hijau terbanyak, yaitu sebesar US$1,59 miliar atau setara 25 persen dari nilai investasi hijau di Asia Tenggara tahun lalu.

Menurut laporan Bain and Company, nilai investasi hijau di Asia Tenggara mencapai US$6,3 miliar pada 2023 atau sekitar Rp101,9 triliun (asumsi kurs Rp16.175/US$). Angka tersebut naik 20 persen dibanding capaian tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Laporan tersebut mencatat, mayoritas dana investasi tersebut berasal dari investor domestik dan korporasi.

Posisinya diikuti oleh Filipina dengan nilai investasi hijau US$1,46 miliar, Malaysia US$1,03 miliar, Singapura US$913 juta, Thailand US$393 juta, dan Vietnam US$199 juta.

Meski mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, angka investasi hijau di Asia Tenggara pada 2023 masih jauh dari target.

Berita Terkini:

Adapun target investasi hijau di kawasan ini, yaitu senilai US$1,5 triliun pada 2030. Hal ini bertujuan untuk mencapai pengurangan emisi sebesar 32 persen.

Investasi hijau merupakan konsep yang dikenalkan dengan langkah-langkah strategis untuk melindungi lingkungan dari kerusakan akibat aktivitas ekonomi yang tidak ramah lingkungan, seperti investasi non-hijau.

Dengan kata lain, prinsip dari investasi hijau adalah penanaman modal pada emiten atau perusahaan yang memiliki komitmen terhadap pelestarian lingkungan, seperti penggunaan sumber energi alternatif dan terbarukan, pengelolaan limbah, proyek udara dan air bersih, serta kegiatan ramah lingkungan lainnya.

Tidak hanya perlindungan terhadap pelestarian lingkungan, investasi hijau juga memperhatikan faktor sosial dengan mendorong kehidupan sosial bermasyarakat dan tata kelola perusahaan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Menurut laporan tersebut, Asia Tenggara mengalami sejumlah tantangan untuk melakukan dekarbonisasi dan transisi. Di antaranya, kendala struktural, termasuk tantangan ganda dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan transisi energi, serta ketidaksesuaian pasokan dan permintaan karena penyebaran sumber daya terbarukan secara geografis.

Tantangan lainnya, yaitu karena terbatasnya insentif untuk pengurangan karbon dan tidak memadainya akses terhadap pendanaan. (STA)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button