Mataram (NTBSatu) – Debat calon wakil presiden (cawapres) yang berlangsung Minggu malam, 21 Januari 2024 menjadi perbincangan masyarakat hingga saat ini. Salah satu yang paling disoroti mengenai etika politik.
Sebab, dalam debat yang berlangsung saat itu, tidak banyak membicarakan substansi dari tema debat. Malah banyak gimik dan gestur yang dianggap kurang beretika bagi seorang cawapres, yang seharusnya memiliki jiwa kenegarawanan.
Menurut Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr. Agus, M.Si., gimik yang dilakukan saat debat akan merusak etika berpolitik bangsa. Padahal, seharusnya momen debat yang merupakan media paling efektif dan paling penting untuk memberikan pendidikan politik, dimanfaatkan untuk beradu gagasan.
“Tetapi yang terjadi dalam setiap kali debat, justru lebih banyak gimik daripada adu gagasannya. Gimik-gimik yang tidak perlu itu, akan merusak cara berpikir masyarakat dalam konteks etika politik,” katanya kepada NTBSatu, Selasa, 23 Januari 2024.
Ia mengungkapkan, aktor politik yang terlibat dalam politik elektoral, dalam hal ini kontestasi pemilu seharusnya berpedoman pada etika-etika berpolitik. Etika yang berupa nilai dari tradisi, kehidupan sehari-hari, budaya, dan agama di sebuah bangsa yang sedang melaksanakan kontestasi pemilu.
“Sehingga dalam menjalankan praktik-praktik politiknya, etika politik itu ditaruh di atas segalanya. Ditaruh di atas hukum, di atas regulasi pemilu, dan sebagainya. Karena politik elektoral tersebut adalah sebuah media untuk melaksanakan tanggung jawab dalam berdemokrasi,” jelas Agus.
Baca Juga: Pemerintah Luncurkan Bantuan Pangan, Bulog Ingatkan Petugas Lapangan Tak Politisasi Bantuan
Terlebih lagi, dalam setiap kontestasi pemilu, lanjutnya, masyarakat harus mendapatkan pendidikan dan literasi politik yang cukup. Pemberian pendidikan dan literasi politik itu merupakan tugas seluruh peserta pemilu, kandidat, tim kampanye, dan penyelenggara pemilu.
“Bila kemudian pendidikan politik itu tidak dilaksanakan dengan baik, maka tidak hanya masyarakat yang rugi tetapi juga negara. Karena setiap tahunnya partai politik dan penyelenggara pemilu memiliki anggaran besar untuk melaksanakan pendidikan politik dalam rangka membangun etika politik sebuah bangsa,” tambah Agus.
Wakil Ketua Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik UIN Mataram ini berharap, ke depan agar para aktor politik untuk berhenti menggunakan gimik yang tidak penting. Ia mengingatkan, kalau Indonesia adalah negara yang berbeda dengan negara barat, yang memiliki tata krama dalam melakukan komunikasi politik.
“Jadi mari kita arahkan pemilu ini menjadi arena beradu gagasan, adu ide, adu program untuk Indonesia yang lebih baik. Bukan adu gimik-gimik yang tidak produktif,” tegas Agus.
“Jangan sampai aktor politik, elit politik, pelaku politik, kontestan politik kita, justru berkontribusi membuat terjadinya resesi atau kemunduran kedewasaan berpolitik bangsa ini,” pungkasnya. (JEF)