Kota Mataram

115 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Terjadi di Kota Mataram, Tiga di Bawah Umur Hamil dan Melahirkan

Mataram (NTBSatu) – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Mataram sepanjang tahun 2025, terbilang memprihatinkan.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram mencatat, sebanyak 115 kasus kekerasan dengan sebagian besar korban merupakan anak-anak.

Dari total tersebut, 80 kasus merupakan kekerasan terhadap anak, sementara 35 kasus lainnya adalah kekerasan terhadap perempuan.

Ironisnya, kekerasan seksual mendominasi kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan, tercatat tiga anak di bawah umur menjadi korban hingga hamil dan melahirkan di tahun 2025.

IKLAN

Kepala DP3A Kota Mataram, Yunia Arini mengatakan, ketiga korban tersebut masih berstatus pelajar. Meski telah melahirkan, kondisi ibu dan bayi sehat dan tetap mendapatkan pendampingan dari pemerintah.

“Korban ini ada yang hamil dan melahirkan, tapi anak kita masih sekolah. Anaknya sehat dan ibunya sehat, alhamdulillah. Kami juga membantu pengurusan administrasi kependudukannya,” ujar Yunia, Rabu, 24 Desember 2025.

Ia menjelaskan, dua korban saat ini berada di rumah aman milik Kementerian Sosial, sementara satu korban lainnya dalam pengasuhan orang tua. Seluruh korban tetap difasilitasi untuk melanjutkan pendidikan, serta mendapatkan layanan kesehatan secara berkelanjutan.

“Kami tidak melepas anak-anak ini. Tetap dipantau, didampingi, dan dipastikan mengakses layanan kesehatan, termasuk Posyandu. Kalau membutuhkan konseling atau bantuan sosial, itu juga kami fasilitasi,” jelasnya.

Jumlah Kasus Meningkat

Yunia menambahkan, jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di tahun 2025 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2024, DP3A mencatat sekitar 90 kasus kekerasan.

Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, mayoritas merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sementara itu, kekerasan seksual menjadi kasus terbanyak pada anak.

Penanganan korban berdasarkan hasil asesmen. Jika membutuhkan perawatan medis, DP3A berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan rumah sakit. Korban juga dapat ditempatkan di rumah aman apabila situasi rumah tidak memungkinkan.

Kasus-kasus tersebut terungkap melalui laporan keluarga, pihak sekolah, maupun temuan langsung di lapangan. Menurut Yunia, meningkatnya jumlah laporan juga menunjukkan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melapor.

“Dulu banyak yang tidak berani melapor karena dianggap aib. Sekarang masyarakat dan sekolah sudah lebih terbuka,” katanya.

Adapun faktor penyebab kekerasan beragam, mulai dari lemahnya pengawasan keluarga, masalah ekonomi, perceraian orang tua, hingga penggunaan gadget tanpa pengawasan.

“Anak-anak yang kurang pengawasan, baik di rumah maupun dalam penggunaan handphone, menjadi kelompok yang paling rentan,” jelas Yunia. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button