RDP di Komisi III DPRD Sumbawa, Warga Saling Bantah soal Dampak Tambang Pasir

Sumbawa Besar (NTBSatu) – Komisi III DPRD Kabupaten Sumbawa menegaskan perlunya investigasi lapangan untuk memastikan penyebab utama kerusakan lingkungan di Desa Luk, Kecamatan Rhee.
Desakan itu muncul dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang rapat Komisi III DPRD Sumbawa, Selasa, 14 Oktober 2025. RDP berlangsung tegang, karena saling bantah antara masyarakat yang mengaku dirugikan dengan pemilik usaha.
Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III, Syaifullah, dan dihadiri oleh Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PMPTSP, Camat Rhee, Kepala Desa Luk, serta dua pihak utama dalam kasus ini. Seperti, Jufri selaku penambang pasir, dan H. Ishaka Mekka sebagai warga yang mengaku terdampak.
RDP ini merupakan respons atas laporan warga terkait aktivitas tambang pasir milik Jufri yang diduga menyebabkan banjir lumpur dan sedimentasi yang merusak rumah milik H. Ishaka.
Dalam penyampaiannya, H. Ishaka Mekka mengungkapkan bahwa selama lima tahun terakhir, dirinya mengalami kerugian akibat banjir lumpur yang diduga berasal dari aktivitas penambangan.
“Pemerintah tutup mata, Pak. Saya sudah lama terlantar. Saya mohon penyelesaian ini bisa dilakukan sesegera mungkin,” tegasnya di hadapan anggota dewan dan perwakilan dinas.
Ia juga mengaku telah beberapa kali menyampaikan keluhan melalui pemerintah desa, namun belum mendapat solusi nyata.
Menanggapi hal tersebut, pemilik tambang pasir, Jufri menolak tudingan bahwa aktivitas tambangnya menjadi penyebab tunggal sedimentasi. Ia menegaskan bahwa usahanya memiliki izin resmi dan dikelola dengan memperhatikan lingkungan.
“Saya ini petani juga, bukan orang sembarangan. Saya tanam pohon mimba, bahkan ratusan warga sudah meniru. Jangan semua lumpur disalahkan ke tambang saya,” ujarnya.
Jufri juga menyampaikan bahwa dirinya telah menunjukkan itikad baik kepada H. Ishaka, termasuk membantu pengiriman material untuk perbaikan rumahnya saat diminta.
Anggota Komisi III, Alentaryadi, menyampaikan bahwa penyelesaian kasus ini harus dilakukan secara objektif dan menyeluruh.
Ia mengingatkan bahwa kawasan sekitar tambang juga telah mengalami perubahan fungsi lahan secara besar-besaran, khususnya untuk pertanian jagung.
“Gunung-gunung di sekitar lokasi sudah gundul karena pembukaan lahan. Itu juga bisa jadi penyebab utama aliran air lumpur. Jangan karena ada tambang, semua kerusakan ditimpakan ke satu pihak,” jelas Allen.
Ia mengusulkan agar kajian teknis lebih dalam dilakukan untuk menelusuri pola aliran air dan dampaknya ke pemukiman.
Anggota Komisi III lainnya, Haris, juga menyoroti perlunya penelusuran fakta secara teknis. Ia menyatakan bahwa tambang milik Pak Jufri telah mengantongi izin resmi, dan belum ada data valid yang menunjukkan bahwa tambang tersebut adalah penyebab utama kerusakan.
“Kalau benar penyebabnya adalah tambang, maka ini bukan CSR, tapi pelanggaran hukum. Tapi hari ini belum tergambar jelas alur airnya seperti apa. Kita harus turun langsung melihat kondisi lapangan,” tegas Haris.
Ia juga mengingatkan agar penyelesaian tidak hanya dibebankan ke satu pihak, dan meminta pemerintah daerah ikut bertanggung jawab dalam penanganan lingkungan.
Haris menekankan pentingnya peran Dinas PUPR dan lingkungan hidup untuk memberikan kajian teknis. Menurut Haris, tuntutan warga tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada satu pihak tanpa kejelasan data.
“Kalau hanya air lewat saluran kering, itu bukan sedimentasi, tapi air bah. Jadi kita tidak bisa 100% salahkan tambang. Pemerintah juga harus bertanggung jawab,” tandasnya.
Ketua Komisi III, Syaifullah, menegaskan bahwa pihaknya akan segera menjadwalkan kunjungan lapangan untuk memverifikasi seluruh data dan kondisi di lapangan.
“Kita tidak bisa hanya dengar laporan. Komisi III akan turun langsung. Kami ingin memastikan keadilan ditegakkan, dan solusi tidak sepihak,” tegasnya.
Rapat ditutup dengan penegasan bahwa penyelesaian konflik lingkungan ini harus melibatkan seluruh pihak secara terbuka dan transparan.
Komisi III DPRD Sumbawa berkomitmen akan mengawal proses ini hingga tuntas, dengan harapan tidak ada pihak yang dirugikan, baik masyarakat maupun pelaku usaha.
“Kita cari keadilan, bukan mencari siapa yang salah. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha harus duduk bersama, temukan solusi, dan pastikan lingkungan tidak makin rusak,” pungkas Syaifullah. (*)