Satpol PP Tutup Tiga Titik Pengerukan di Bukit Sembalun: Tidak Punya Izin Jelas

Lombok Timur (NTBSatu) – Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui Satpol PP menutup aktivitas pengerukan bukit di kawasan Sembalun, Rabu, 1 Oktober 2025.
Satpol PP Lombok Timur mengambil langkah tegas, setelah menemukan tiga titik galian di bukit terjal tanpa izin resmi maupun identitas perusahaan yang jelas.
Kasatpol PP Lombok Timur, Slamet Alimin memimpin langsung penindakan tersebut setelah operasi lapangan. Ia menegaskan, seluruh aktivitas tambang dihentikan sementara menunggu proses hukum lanjutan.
“Kami menemukan tiga lokasi pengerukan di area curam, semuanya tidak memiliki izin. Jika kegiatan ini dibiarkan, risiko longsor sangat besar,” ungkap Slamet, Kamis, 2 Oktober 2025.
Investigasi di lapangan mengungkap pengerukan bukit di kawasan Sembalun tersebut bertujuan membuka lahan pembangunan villa. Sejumlah alat berat sempat beroperasi, meskipun sebagian titik terlihat sudah ditinggalkan.
“Saat kami datang, ada titik yang sedang ada aktivitas, ada juga yang tidak ada, alat beratnya pun sudah pergi,” tambahnya.
Penghentian tambang ilegal itu tidak terlepas dari desakan berbagai pihak. Komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup Sembalun Pencinta Alam (KPLH-Sembapala), Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS), hingga pemerintah kecamatan menolak keras praktik pengerukan liar.
Mereka menilai aktivitas pengerukan tersebut merusak ekosistem, mengancam pertanian, dan menurunkan kualitas hidup warga.
Tuntutan itu sebelumnya mereka suarakan dalam rapat dengar pendapat bersama Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Sembalun.
Turut hadir pada pertemuan tersebut Sekretaris Camat (Sekcam) Sembalun, Pelita Yatna S.Sos.; Kapolsek; Koramil; Ketua BKAD Kecamatan Sembalun; serta tokoh pemuda dan perempuan setempat.
Sekcam Sembalun, Pelita Yatna menilai keresahan masyarakat sahih. Ia menjelaskan, pengerukan berlangsung di tanah curam yang bersinggungan langsung dengan jalan usaha tani dan jalur utama.
“Masyarakat cemas karena lokasi itu rawan longsor, apalagi menjelang musim hujan,” ujarnya.
Pihak kecamatan dan desa mengaku terkejut karena tidak pernah terlibat dalam perizinan. “Kami menduga pengerukan ini tidak melalui prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),” tegas Pelita. (*)