
Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Ketua Satgas MBG Provinsi NTB
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah sebuah ikhtiar besar bangsa. Sejak digagas Presiden Prabowo, ia dihadirkan bukan sekedar memberi makan kepada anak-anak sekolah, balita, ibu hamil, atau ibu menyusui, melainkan sebagai janji besar untuk mencetak generasi emas Indonesia 2045. Dalam setiap food tray sederhana yang dibagikan, ada harapan panjang, agar anak-anak negeri tumbuh sehat, cerdas, dan penuh daya saing.
Namun perjalanan besar ini tidak selalu mulus. Beberapa waktu terakhir, MBG menjadi sorotan karena munculnya kasus keracunan makanan di sejumlah daerah, dari Sleman hingga Blora dan Brebes. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kantor Staf Presiden, hingga DPR memberi perhatian serius.
Bahkan ada yang mengusulkan agar program ini dihentikan sementara sampai dianggap matang. Kekhawatiran itu wajar, sebab satu anak saja yang mengalami keracunan sudah merupakan alarm yang tidak boleh dianggap sepele.
Tetapi menghentikan program sebesar ini walau hanya sementara, benarkah menjadi pilihan paling bijak? Mari kita renungkan. MBG telah hadir bukan di ruang kosong. Ia datang di tengah bangsa yang masih berjuang melawan malnutrisi, gizi buruk, dan angka stunting yang tinggi.
Ia lahir dari kesadaran bahwa kualitas manusia Indonesia akan sangat ditentukan oleh kualitas gizi hari ini. Maka menghentikannya walau sementara sama dengan memutus suplai harapan bagi jutaan anak dan ibu yang sudah mulai merasakan manfaatnya.
Masalah yang muncul bukan pada konsep, melainkan pada pelaksanaan. Dapur-dapur MBG atau yang disebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) masih memiliki banyak titik lemah. Ada yang salah merencanakan kapasitas, ada yang kurang disiplin menjaga kebersihan, ada yang rantai dinginnya terputus, bahkan ada yang memilih jalan pintas dengan bahan pangan yang tidak layak. Celah inilah yang membuka kemungkinan terjadinya keracunan.
Tetapi apakah kesalahan di beberapa titik harus menutup semua dapur di seluruh negeri?
Saya percaya jawabannya tidak. Jalan tengah yang lebih arif adalah membenahi program ini sambil tetap berjalan. Caranya dengan memperketat pengawasan, memperkuat peran Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang menjadi kepala dapur, memberi sanksi tegas kepada siapa pun yang lalai, memastikan standar kebersihan diterapkan, dan membuka ruang pengawasan masyarakat. Jika ada keluhan, harus ada kanal cepat untuk menampungnya, lalu ditindak dalam hitungan jam, bukan hari.
Dalam konteks inilah sistem sanitasi dapur menjadi kunci. Dapur MBG bukan sekedar tempat memasak, melainkan benteng pertama menjaga keselamatan pangan. Sanitasi yang buruk bisa menyebabkan bakteri berpindah dari bahan mentah ke makanan matang, saluran air yang tidak bersih bisa memancing hama, dan peralatan yang tidak steril bisa menjadi jalan masuk penyakit.
Sebaliknya, dapur yang terjaga higienitasnya akan melahirkan makanan aman, staf yang sehat, produksi yang efisien, dan kepercayaan masyarakat yang semakin kokoh. Bayangkan bila setiap dapur MBG menjalankan standar kebersihan sekelas HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau Analisis Bahaya dan Titik Kritis Pengendalian sebagai suatu sistem manajemen keamanan pangan yang berbasis pada pencegahan, Kemudian ada zona kering dan basah yang jelas, catatan jam pembersihan, hingga pengelolaan limbah cair yang ramah lingkungan, sehingga kita bisa memastikan risiko keracunan bisa ditekan sedemikian rupa. Maka memperkuat sanitasi bukan sekedar teknis, melainkan juga simbol komitmen kita menjaga masa depan anak bangsa.
Lihatlah apa yang sudah dicapai di Nusa Tenggara Barat. Capaian Program MBG pada awal September 2025 fari potensi 1,85 juta jiwa penerima manfaat, sudah lebih dari 862 ribu jiwa yang terlayani, hampir setengah dari target. Ada 269 dapur yang sudah aktif, hampir seribu mitra dan supplier yang terlibat, 11 ribu lebih tenaga kerja terserap.
Di balik angka-angka itu ada wajah-wajah riang anak sekolah yang menikmati makanannya, ada petani lokal yang hasil panennya terserap, ada UMKM yang dapurnya kembali bergeliat.
Apakah pantas semua ini diputus hanya karena beberapa kasus?
Penghentian program hanya akan meninggalkan ruang kosong. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan makanan bergizi setiap hari akan kehilangan asupan. Orang tua akan kembali bingung mencari cara agar anaknya tetap makan sehat. Sementara semangat gotong royong yang mulai tumbuh di daerah akan padam. Lebih berbahaya lagi, citra pemerintah akan jatuh di mata masyarakat yang sudah menaruh harap pada program ini.
Karena itu, pembenahan menyeluruh sambil jalan adalah pilihan yang paling masuk akal. Dapur-dapur yang terbukti lalai bisa dihentikan sementara, tetapi dapur yang sudah baik harus terus melayani. Supplier yang curang harus diblacklist, tetapi UMKM dan petani yang jujur tetap diberdayakan. Setiap dapur wajib mencatat sumber bahan pangan, waktu pengolahan, hingga jam distribusi, sehingga jika ada masalah, bisa segera ditelusuri. Pembinaan rutin bagi juru masak, ahli gizi, dan SPPI harus diperbanyak agar standar gizi dan keamanan pangan benar-benar dijaga.
Tentu pembenahan ini tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Kita sudah memiliki contoh di NTB, bahwa dengan kerja bersama, program ini bisa berjalan progresif dan memberi dampak luas. Yang dibutuhkan adalah ketegasan, kecepatan, dan keberanian memperbaiki sambil melindungi.
Pada akhirnya, MBG bukan sekedar soal makan gratis. Ia adalah soal masa depan bangsa. Menyelamatkan satu anak dari keracunan adalah keharusan, tetapi memastikan jutaan anak terus mendapat gizi yang layak juga kewajiban. Jangan sampai kita menyelesaikan masalah dengan cara yang justru menghapus manfaat yang lebih besar.
Maka, mari kita kuatkan komitmen dengan memperbaiki yang salah, menegakkan aturan, melibatkan semua pihak, dan meneruskan langkah besar ini. Karena pada setiap food tray makanan bergizi yang tersaji, ada masa depan Indonesia yang kita titipkan. (*)