
Oleh: Furkan Sangiang – Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram
Pasca kemenangannya, Gubernur Iqbal menegaskan tiga prioritas utama kepemimpinan Iqbal–Dinda di Pemerintahan Provinsi NTB. Tiga hal tersebut yaitu pengentasan kemiskinan, penguatan ketahanan pangan melalui pembangunan ekosistem industri pertanian, serta menjadikan NTB sebagai destinasi kelas dunia.
Tiga prioritas ini tentu memberi harapan besar bagi daerah kita ini. Dua di antaranya pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan sangat menarik dicermati karena erat kaitannya dengan persoalan kemakmuran.
Mari kita bedah, Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTB memang berkurang 4,03 ribu orang pada Maret 2025 dibanding September 2024, ini luar biasa. Tapi, persentase kemiskinan juga turun menjadi 11,78 persen. Namun, perincian data justru memperlihatkan bahwa kemiskinan di perkotaan naik 14,94 ribu orang, sementara di pedesaan turun 18,97 ribu orang. Angka ini menjadi catatan penting bahwa capaian makro belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Di sisi lain, NTB masih menyandang predikat salah satu provinsi dengan prevalensi gizi buruk tertinggi. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat angka stunting sebesar 29,8 persen dengan jumlah 153.627 balita. Posisi ini menempatkan NTB dalam jajaran Top 10 provinsi dengan jumlah balita stunting terbanyak di Indonesia setara dengan provinsi besar seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, padahal jumlah penduduk NTB jauh lebih kecil.
Akar Masalah Gizi Buruk di NTB
Meski Dinas Kesehatan NTB mengklaim penurunan angka stunting menjadi 12,53 persen pada November 2024 melalui aplikasi e-PPGBM, perdebatan tetap muncul. Apakah penurunan itu nyata dirasakan masyarakat, atau sekadar angka statistik?
Menurut KBBI, kata “makmur” berarti serba kecukupan, tidak kekurangan, bahkan tercukupi kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan. Maka wajar jika publik mengkritisi kesenjangan antara visi “Makmur Mendunia” dengan kondisi gizi anak-anak NTB.
Penelitian Asyrofatun Septiami dkk. (2024) menegaskan bahwa faktor penyebab gizi buruk tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga konsumsi, pendidikan, status pekerjaan orang tua, jumlah anggota rumah tangga, hingga kondisi lingkungan.
Hal senada ditegaskan oleh Handayani (2024) bahwa pola konsumsi, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, serta sanitasi berpengaruh besar terhadap status gizi balita. Dengan demikian, penanganan stunting tidak bisa dibebankan hanya pada sektor kesehatan, tetapi harus melibatkan lintas sektor.
Data distribusi stunting di NTB juga memperlihatkan ketimpangan. Kabupaten Sumbawa Barat mencatat angka terendah 7,35 persen, diikuti Kota Mataram 7,83 persen, dan Kabupaten Sumbawa 9,04 persen. Sebaliknya, angka tertinggi tercatat di Lombok Timur dengan 19,87 persen. Fakta ini menegaskan perlunya penanganan berbasis lokal yang sesuai kondisi tiap daerah.
Stunting bukan sekadar soal tinggi badan anak, tetapi kegagalan tumbuh akibat kekurangan gizi kronis pada seribu hari pertama kehidupan. Dampaknya serius: menurunnya perkembangan otak, kecerdasan, produktivitas, hingga daya saing generasi muda NTB di masa depan.
Menghadapi tantangan besar ini, ada beberapa langkah strategis yang perlu diprioritaskan. Pertama, edukasi gizi berbasis keluarga dan sekolah harus diperkuat. Kesadaran orang tua mengenai pentingnya ASI eksklusif enam bulan, pemberian MPASI kaya protein hewani, serta konsumsi rutin Tablet Tambah Darah (TTD) bagi ibu hamil dan remaja putri menjadi kunci.
Kedua, pemberdayaan ekonomi rakyat kecil sangat penting agar daya beli masyarakat terhadap pangan bergizi meningkat. Ketiga, kolaborasi lintas sector pemerintah, perguruan tinggi, LSM, hingga komunitas lokal harus digalakkan. Keempat, pemerataan distribusi pangan sehat dan bergizi ke pelosok menjadi syarat mutlak.
Kemudian Program makan siang bergizi gratis di sekolah yang tengah dicanangkan pemerintah juga harus dipastikan berjalan efektif. Program ini bukan sekadar kebijakan populis, tetapi investasi jangka panjang untuk menyiapkan generasi NTB yang sehat, kuat, dan cerdas.
NTB Makmur Mendunia: Antara Slogan dan Realita
Pak Gubernur yang saya hormati, bagaimana kita bisa berharap angka stunting atau gizi buruk di NTB bisa teratasi dengan baik, jika lapangan pekerjaan bagi orang tua bayi masih terbatas, kondisi kesehatan lingkungan kita masih buruk, dan indeks kesehatan masih rendah? Pertanyaan saya sederhana, apakah visi “NTB Makmur Mendunia” itu sudah tercapai?
Saya masih mencoba optimis, Pak Gubernur, karena visi itu terdengar indah, sangat besar, dan memberi harapan. Namun, maaf jika di mata rakyat kecil seperti saya, visi itu terlihat gagap dan terkesan hanya obral slogan saja. Untuk apa slogan begitu besar, sementara angka kemiskinan masih tinggi? Jika kita bedah lebih dalam, antara visi dan kondisi rakyat, jaraknya masih jauh panggang dari api.
Oh iya, Pak Gubernur, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) NTB cukup mengejutkan. Per Agustus 2024 tercatat ada 80 ribu orang menganggur, saya belum tahu angka di tahun 2025 ini semoga membaik.
Pak Gubernur, angka pengangguran ini berdasarkan usia angkatan kerja (15 tahun ke atas), dan malah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lebih ironis lagi, lulusan SMK yang seharusnya siap kerja justru mendominasi angka pengangguran itu. Bagaimana generasi muda kita bisa berkontribusi pada visi NTB mendunia, kalau akses kerja mereka justru makin sempit?
Tak berhenti di sana, saya juga dikejutkan oleh fakta lain angka kematian ibu dan bayi di NTB masih sangat tinggi. Data mencatat mencapai 257 per 100.000 kelahiran hidup, jauh di atas rata-rata nasional yang berada di angka 177 per 100.000. Bukankah ini menjadi potret nyata bahwa indeks kesehatan kita masih tertinggal, bahkan ketika visi besar sudah didengungkan?
Saya sadar, Pak Gubernur masih baru. Betul, masa kepemimpinan Bapak memang belum genap satu tahun. Tapi publik sudah menaruh harapan besar pada slogan “NTB Makmur Mendunia” itu. Harapan rakyat sederhana saja ada perubahan nyata yang bisa dirasakan, terutama pada aspek paling mendasar, yaitu pangan, sandang, papan, dan tentu saja kesehatan. Kalau rakyat masih kesulitan memenuhi gizi anaknya, kalau ibu-ibu masih cemas melahirkan, kalau pemuda masih menganggur, lalu makmur yang seperti apa yang kita maksud?
Saya tentu harus jujur juga, Pak Gubernur. Pencapaian Bapak dalam beberapa hal mungkin sudah luar biasa. Namun, maaf, di mata saya dan mungkin banyak rakyat lainnya, hal yang benar-benar luar biasa itu belum terasa. Coba tengok kembali capaian gubernur sebelum Bapak, lalu evaluasi. Karena slogan dan visi Bapak sangat tinggi, bahkan luar biasa, maka masyarakat tentu menunggu bukti luar biasa pula.
Pada akhirnya, kami tidak menolak harapan. Kami masih ingin optimis, Pak Gubernur. Tetapi optimisme itu hanya bisa tumbuh jika slogan yang begitu besar tidak berhenti di baliho, podium, atau spanduk. Kami ingin merasakannya di meja makan kami, di tubuh anak-anak kami yang sehat, di lapangan pekerjaan yang terbuka, dan di angka kesehatan yang membaik. (*)